Tak elok rasanya bila saya banyak berkomentar perihal sesuatu yang saya sendiri pun belum pernah melakoninya. Menyoal usia ideal pernikahan, saya telah 6 – 7 tahun melewati batas ideal minimum yang dimaksud. Maka, kemungkinan besar posisi saya saat ini menjadi kurang layak dikategorikan ideal, untuk ukuran perempuan yang seharusnya sudah berlabel “ibunya anak-anak”. Jadinya saya merasa belum pantas bahkan untuk beropini sekalipun. Tapi, itu tidak jadi soal, toh saya hanya ingin berbagi uneg-uneg di hati. Pun, saya sedang berproses menuju ke masa depan yang cemerlang tersebut melalui upaya memantaskan diri dengan beragam persiapan dan niat baik tentunya.
Maka, cukuplah bagi saya untuk membagikan kisah kedua orang tua saya sebagai pembelajaran atas gambaran dan bukti nyata masa depan cemerlang berkat idealnya usia pernikahan. Bagi saya pribadi, Ayah dan Ibu merupakan contoh nyata keidealan usia pernikahan yang memberikan dampak terhadap masa depan cemerlang, yang tentu saja ditempuh oleh mereka dengan usaha keras, pengorbanan dan penuh perjuangan. Belum lagi kisah pertemuan keduanya di tanah rantau, seakan menjadi catatan sendiri yang sangat menarik untuk disimak.
Alkisah, 30-an tahun yang silam, Ayah meminang Ibu yang ketika itu berusia 22, sedangkan Ayah berusia 26. Tentu usia keduanya telah memenuhi syarat usia ideal untuk menikah menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Tapi sayangnya ketika itu Ayah masih berstatus mahasiswa yang tengah berusaha meraih gelar Sarjana Muda dan belum memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap, apalagi meningkat.
Untunglah Ibu saya merupakan tipikal pekerja keras – hingga sekarang – jauh sebelum beliau memutuskan untuk mengabdikan hidupnya kepada anak dan suami dengan penuh totalitas. Singkat cerita, Ayah yang berstatus “anak kuliahan” dan Ibu yang merupakan “pekerja” memberanikan diri untuk menempuh jalur halal demi mengukuhkan hubungan mereka dalam ikatan suci pernikahan. Proses sakral tersebut dilalui secara sederhana dan khidmat serta penuh pengharapan akan masa depan cemerlang dan gemilang.
Maka dari beliau berdualah saya belajar bahwa yang namanya pernikahan itu pantas untuk dikultuskan. Oleh karenanya, kesiapan psikologi, ekonomi, kesehatan reproduksi dan umur menjadi bagian penting yang perlu dipersiapkan semenjak dini bersama (calon) pasangan. Beliau berdua mengajarkan tuk saling menerima kekurangan dan menguatkan kelebihan pasangan. Beliau saling menghebatkan satu sama lain. Kini, mereka sudah cukup membuktikan kepada anak-anaknya hal cemerlang apa saja yang berhasil diraih berkat pernikahan mereka di usia ideal, berkat mimpi dan pengharapan di masa lalu untuk masa depan atas kehidupan yang lebih baik serta berkat upaya bahu membahu dan kerjasama mereka menghadapi pelbagai permasalahan yang menerpa biduk rumah tangga.
Melihat begitu pentingnya arti sebuah pernikahan, maka persiapan maksimal guna mencapai keluarga yang diidam-idamkan menjadi hal wajib dalam proses memantaskan diri. Selaras dengan program pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga yang digagas BKKBN bahwasanya dalam pelaksanaan program ke depan berfokus pada penguatan advokasi, penguatan akses pelayanan, peningkatan pemahaman mengenai keluarga berencana dan kesehatan reproduksi terutamanya dalam penyiapan kehidupan dalam berkeluarga, peningkatan peran dan fungsi keluarga dalam pembangunan keluarga serta penguatan landasan hukum dan penyerasian kebijakan pembangunan di bidang kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga yang diperkuat dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas dan serta informasi.
Adapun persiapan yang dianggap perlu diantaranya kesiapan psikologi misalnya, pasangan harus memiliki kesiapan mental atas kemungkinan masalah yang terjadi. Mesti paham bagaimana cara menyikapi dan menyelesaikannya. Butuh kecerdasan emosional yang mumpuni dari kedua belah pihak agar masalah tidak berlarut-larut. Kesiapan mental, kesiapan untuk bertanggung jawab, berbagi dan berlapang dada. Ibu seringkali menasehati saya bahwa untuk selalu mawas diri pada tiap jenjang usia pernikahan dengan siklus 5 tahunan. Semua akan baik-baik saja ketika masing-masing pasangan mampu saling bekerja sama menghadapi masalah dengan kepala yang dingin dan hati yang hangat. Saat memutuskan untuk menikah tentu masing-masing pasangan harus siap menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan. Komunikasi yang baik juga menjadi hal utama guna menjaga kelanggengan rumah tangga. Selain itu, kesiapan mental untuk saling membiayai kebutuhan hidup keluarga dan kehadiran anak menjadi patut dipertimbangkan. Saatnya untuk belajar bertanggung jawab bagi diri sendiri dan keluarga.
Kesiapan umur tentu terkait dengan ukuran standar usia ideal untuk berumah tangga. Karena seringkali usia seseorang menunjukkan rekam jejak, pengalaman dan kematangan berpikir. Kesiapan umur pasangan akan menentukan pernikahan yang berpengaruh bagi kelangsungan hidup rumah tangga. Siapa sih yang mau biduk rumah tangganya kandas di tengah jalan? Tidak! Bukan perkara batasan umur dalam menikah, melainkan kesiapan dan kematangan umur guna meminimalisir risiko yang tidak diinginkan terutama bagi pihak perempuan yang notabene merupakan pihak yang cukup rentan terkait kehamilan. Intinya, perlu disadari bahwa kaum perempuan merupakan tempat menimba ilmu setiap generasi, sehingga di bawah bimbingannya lah akan lahir seseorang yang benar-benar hebat. Oleh karenanya, keteguhan dan kemantapan dalam mengatur waktu dan pengalokasiannya pada perkara penting merupakan cerminan diri dalam kesuksesan dan kesempurnaan pribadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan seorang perempuan adalah kesuksesan seluruh komponen umat.
Kendati seringkali kedewasaan tidak ditentukan oleh usia, bahkan usia ideal memulai pernikahan sekalipun, kita harus terus berproses dan berusaha menumbuhkembangkan bentuk kedewasaan diri. Karena perkara siap tidaknya seseorang untuk menikah hanya diri sendiri yang mampu menilai. Setidaknya idealnya usia seseorang berbanding lurus dengan kemantapan persiapannya.
Adapun ragam kesiapan lainnya yang patut untuk diperhitungkan diantaranya ialah kesiapan sosial yaitu siap untuk bertetangga, hidup rukun bermasyarakat dan membiasakan diri terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga atau masyarakat dengan kegiatan sosial. Berikutnya, kesiapan konsepsional berupa persiapan untuk memahami konsep pernikahan yaitu sebagai wadah terciptanya generasi penerus. The last but not least, ialah kesiapan spiritual yang menjadi poin utama yang perlu dipersiapkan menjelang pernikahan yaitu kesiapan untuk bersabar dan bersyukur dalam menghadapi semua masalah.
Terlepas dari pentingnya usia ideal untuk menikah guna meraih masa depan cemerlang dan gemilang, maka menjadi sosok istri ideal yang tidak bersaing dengan suaminya tentu menjadi pelengkap penting. Di dalam pernikahan istri mempunyai peran yang saling melengkapi dengan suami, tetapi kewajiban dan tanggung jawabnya tidak persis sama dengan suami. Sang istri perlu mengesampingkan keinginan pribadi dan melihat kesejahteraan suami dan anak-anak sebagai prioritas. Begitu pula sang suami perlu memainkan perannya sebagai seorang suami yang mencintai istri dan anak-anak.
Setidaknya, kisah Putri Jepara yaitu RA Kartini yang dipersunting petinggi pribumi yaitu seorang Bupati di usianya yang ke 24 (yang dalam pandangan orang Jawa, sudah masuk kategori “perawan tua”), menjadi pelajaran bahwa usia ideal bisa jadi faktor sufficient, tapi tipe ideal menjadi lebih necessary. Ibarat menyelami jati diri, karakter dan kehormatan wanita Jawa maka di lingkup masyarakat Jawa sendiri ada pendapat yang mengatakan bahwa bojo lebih mengacu pada hubungan fisik antara pria dan wanita, sementara jodho lebih mengacu pada hubungan batin antara pria dan wanita. Dengan demikian, bebojohan (persuami-istrian) yang ideal harus berdasarkan cinta kasih yang tulus dari hati.
Akhir kata, ayo meriahkan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXIII ini sebagai momentum menggaungkan menikah di usia ideal guna menyongsong masa depan gemilang dan cemerlang serta mewujudkan keluarga berkualitas, sejahtera dan mandiri.
Referensi:
- Achmad S. 2015. Pesona Wanita dalam Khasanah Pewayangan. Penerbit Araska
- Al-Faqih A. 2013. Manajemen Waktu untuk Wanita. Jakarta: Pustaka at-Tazkia
- Hidayah M. 2014. Menjemput Jodoh Idaman. Klaten: Abata Press
- Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia. 2015.
- Lemu A. 2001. Istri Muslim Ideal. Depok: Bina Mitra Press
- Tempo. 2013. Gelap – Terang Hidup Kartini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Nb: tulisan diikutsertakan dalam Blogging Competition Kompasiana dan BKKBN “Nikah Usia Ideal, Raih Masa Depan Cemerlang”
Akun Twitter: @yesihendriani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H