Rabu, 15 Januari 2014, tepat pukul 23 WIB, saya menerima pesan singkat secara bertubi-tubi dari beberapa rekanan melalui ponsel saya yang menanyakan kabar keluarga di Manado (hingga saat ini pun saya masih menerima beberapa pertanyaan dan pernyataan atas kekhawatiran, secara pribadi saya haturkan rasa hormat dan terimakasih banyak atas segala bentuk perhatiannya). Kebetulan pada saat itu saya tengah mengikuti kegiatan fieldtrip dan workshop "Keberlanjutan Kawasan Puncak dan DAS Ciliwung dalam Perspektif Kajian Tata Ruang" yang dihelat Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Ernan Rustiadi, selaku dosen dan pakar perencanaan wilayah dan ekonomi regional, berlokasi di Puncak Bogor Jawa Barat hingga sehari kedepan dan malam harinya tersebut saya benar-benar terisolasi dari pemberitaan di media cetak maupun elektronik. Usut punya usut ternyata tengah dan telah terjadi banjir bandang dan tanah longsor di Manado dan sekitarnya hingga memakan beberapa korban jiwa bahkan masih ada korban yang dinyatakan hilang dan masih dalam proses pencarian. Hal ini tentu saja sontak membuat saya panik dan kaget bukan kepalang, tetapi apa mau dikata, jaringan telekomunikasi terputus dan saya tidak bisa menghubungi pihak keluarga. Saya hanya berharap semua dalam keadaan baik-baik saja. Keesokan harinya, Alhamdulillah saya berhasil menghubungi pihak keluarga dan mendapatkan kabar bahwa mereka dalam keadaan baik dan sehat wal afiat tapi kondisi Manado yang tergambar dalam pemberitaan di beberapa media cetak dan elektronik cukup membuat hati bergidik dan miris bagi siapa saja yang melihatnya. Alhasil, berikut potret gambaran kondisi Manado yang berhasil diperoleh dari penelusuran beberapa media cetak elektronik [caption id="attachment_316350" align="aligncenter" width="300" caption="Banjir bandang setinggi atap rumah (dok: FB Manado)"][/caption] [caption id="attachment_316352" align="aligncenter" width="300" caption="Wajah Manado dipotret dari Peninsula Hotel (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316353" align="aligncenter" width="300" caption="Mobil terendam banjir (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316354" align="aligncenter" width="300" caption="Banjir menyebabkan kerugian harta benda (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316355" align="aligncenter" width="300" caption="Tampak atap mobil yang terendam banjir. Miris (dok: pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_316356" align="aligncenter" width="300" caption="Lapangan Tikala, depan kantor Walikota Manado (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316357" align="aligncenter" width="300" caption="Tanah longsor menutupi badan jalan (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316358" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan penghubung Kota Manado dan Kota Tomohon terputus (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316359" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan amblas (dok: FB Manado)"]
[/caption] [caption id="attachment_316360" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah hanyut diterjang banjir bandang (dok: FB Amelia Parera)"]
[/caption] [caption id="attachment_316361" align="aligncenter" width="300" caption="Mobil diterjang banjir bandang (dok: FB Amelia Parera)"]
[/caption] MIRIS. Semua potret gambaran yang berhasil dihimpun warga dan beberapa media sangat membuat hati saya terpukul yang kemudian bertanya-tanya "Ada apa gerangan dengan TATA RUANG kita?". Banjir bandang benar-benar melumpuhkan kedinamisan sebuah kota karena banjir tersebut data secara tiba-tiba dan menyapu semua yang menghalangi. Belum hilang dari ingatan bencana banjir yang menimpa Ibukota Jakarta serta daerah lainnya kemudian permasalahan yang menimpa para pengungsi Gunung Sinabung, bencana yang terjadi di Manado kemudian semakin menambah deret permasalahan yang terjadi di Indonesia. Bencana alam memang suatu kehendak alam tapi bukan berarti para manusia selaku penghuninya kemudian pasrah dan tidak mampu berbuat apa-apa atas hal ikhwal yang terjadi. Dibutuhkan langkah solutif nyata untuk mengatasi ataupun mencegah permasalahan yang ada. [caption id="attachment_316362" align="aligncenter" width="300" caption="Alih fungsi lahan di kawasan resapan air Manado (dok: FB Veronica Kumurur)"]
[/caption] Dr. Veronica Kumurur selaku pakar lingkungan dan pengamat tata ruang Universitas Sam Ratulangi Manado mengungkapkan bahwa kawasan lindung yang tidak ditetapkan oleh PERDA menyebabkan alih fungsi lahan kawasan resapan air menjadi pemukiman, perdagangan dan industri yang tak terhindarkan karena tak ada yang bisa menahan kegiatan tersebut. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan tanah tak lagi dapat menyerap air secara optimal sehingga menyebbakan banjir dan bila tidak dikendalikan maka akan mengakibatkan banjir yang lebih hebat di masa mendatang. [caption id="attachment_316364" align="aligncenter" width="300" caption="Kawasan lindung dengan sempadan jadi-jadian di sepanjang alirannya (dok: FB Veronica Kumurur)"]
[/caption] Lebih lanjut, Dr. Veronica menjelaskan bahwa hal ini menjadi pelajaran bagi Pemkot Manado dan Pemprov Sulawesi Utara (Sulut). Perlunya ditetapkan kawasan lindung dengan PERDA sehingga bagi yang melanggar dan memanfaatkan kawasan lindung secara seenaknya dapat diberikan sanksi hukum. Selama pemda dan pemprov tidak menetapkan wilayah kawasan lindung maka akan terus terjadi pelanggaran yang berujung pada "Kesengsaraan Massal" seperti yang terjadi di Kota Manado saat ini. Atas perubahan alam terjadi, pemerintah selaku pembuat keputusan dapat meminimalkan kerusakan akibat alam dengan misalnya menata wilayah dengan benar dan tegas sesuai aturannya! Tentunya dengan tidak memberikan izin pada para pengembang pemukiman yang akan membangun di area seperti ini dengan
seenak udel-nya. Seyogyanya, pemerintah punya hak untuk mengendalikan situasi seperti ini. Sejalan dengan yang diungkapkan Dr. Veronica atas bencana yang terjadi di Kota Manado, permasalahan yang terjadi pun menjadi suatu hal yang patut diperbincangkan bila dikaitkan dengan permasalahan di ibukota Jakarta. Hasil kunjungan lapang dan
workshop bersama para
stakeholder terkait dari pihak pemerintah sebagai pemangku kebijakan serta komunitas non pemerintahan (ex: Komunitas Peduli Ciliwung)Â yang saya ikuti 2 hari yang lalu memberikan pencerahan atas permasalahan yang tersaji di depan mata melalui diskusi dan perbincangan hangat bahwa sesungguhnya Kawasan Puncak yang merupakan hulu dari DAS Ciliwung memiliki permasalahan kompleksnya tersendiri dan Jakarta yang merupakan kawasan hilir DAS Ciliwung pun tidak kalah kompleks permasalahannya. Tampak kontras tutupan lahan antara bagian hulu dan hilir yang menandakan bahwa terjadi pemukiman yang kian masif di bagian hilir yaitu ibukota. [caption id="attachment_316366" align="aligncenter" width="300" caption="Kawasan puncak Sub DAS Ciliwung hulu (dok: ppt Rustiadi et al, 2014)"]
[/caption] [caption id="attachment_316368" align="aligncenter" width="300" caption="Anak sungai terbesari di hulu DAS Ciliwung (dok: pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_316369" align="aligncenter" width="300" caption="Puing-puing villa hasil pembokaran di Tugu Utara Puncak Bogor (dok: pribadi)"]
[/caption] Ardi Andono, STP, MSc selaku pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dalam
workshop yang saya ikuti kemarin mengungkapkan pula dengan gamblangnya terkait "Keberlanjutan Kawasan Puncak dan DAS Ciliwung dalam Perspektif Kajian Tata Ruang" bahwasanya dibutuhkan cagar biosfer yang merupakan kontrol penting tata ruang dan kebijakan, serta diperlukan pula aturan tegas berupa Perda Gubernur. Butuh komitmen bersama terkait pemerintah dan masyarakat guna menjalankan pola penggunaan ruang sesuai kemampuan atau daya dukung lahan dan pengelolaan cagar biosfer sesuai arahan pengelolaan. Dr. Ernan Rustiadi, pun menjelaskan terkait "Lansekap Politik Penataan Ruang" bahwa politik ruang yang tidak kondusif telah menciptakan berbagai bentuk konflik penataan ruang dan ketidakpastian tata kelola ruang. Pun, ketidakpastian akibat berbagai inkonsistensi sistem penataan ruang kian menjadi "lahan basah" bagi para pemburu rente. Ketidakpastian menjadi hambatan utama bagi kegiatan investasi dan menimbulkan biaya ekonomi sangat tinggi. Penataan ruang butuh dukungan sistem informasi yang handal, butuh sinkronisasi sistem perundangan serta peraturan pengelolaan SDA yang berdiri di atas semua sektor, butuh "percepatan" regulasi peraturan turunan teknis yang menjembatani aturan perundangan yang ada, butuh penyelarasan ulang nomenklatur penataan ruang, butuh lembaga penataan ruang yang kokoh di atas kepentingan semua sektor dan lembaga non pemerintah pun dapat berperan mengisi peran pengawasan dan pengendalian penataan ruang, butuh penguatan jaringan advokasi penataan ruang dalam penguatan. Pada akhirnya, penataan ruang yang berkelanjutan perlu melibatkan multipihak secara partisipatif dengan memperhatikan aspek ekologi, mitigasi bencana, gender, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan khususyang terintegrasi secara program maupun spasial. Semoga kedepannya dapat meminimalisir bahkan menggerus habis aksi saling tuduh ataupun saling salah menyalahkan antar berbagai pihak, lepas tangan atas apa yang telah terjadi ataupun istilah "banjir kiriman" yang menurut saya pribadi hanyalah satu cara menyederhanakan masalah yang benar-benar tidak ilmiah. Butuh langkah solutif, nyata dan saat ini juga serta kesediaan untuk bekerja sama antar berbagai pihak demi membentuk
social capital terkait dengan penuntasan dan pengendalian permasalahan kompleks di depan mata. Wujudkan Tata ruang yang sebenarnya bukan hanya sekedar TATA UANG meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa memikirkan keberlanjutan nasib manusia dan lingkungannya. Salam (Nb: Duka mendalam untuk para korban bencana alam di penjuru Tanah Air Indonesia, tetap sabar dan istiqomah. Tuhan punya rencana yang lebih indah, percayalah...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya