Di tengah perkembangan zaman yang semakin mengutamakan  individualisme, konsep pawongan tetap menjadi pedoman penting dalam menjaga hubungan baik antarsesama. Pawongan adalah salah satu konsep dalam Tri Hita Karana yang berarti hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya. Tri Hita Karana sendiri merupakan landasan hidup yang telah diterapkan oleh masyarakat Bali sejak zaman prasejarah. Meskipun berasal dari daerah Bali, konsep pawongan juga dapat ditemukan dalam budaya suku Sasak, mayarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Salah satu nilai penting dalam budaya masyarakat Sasak adalah gotong royong yang dikenal juga dengan istilah "beriuq tinjal" (Habibuddin, dkk., 2021). Istilah ini bermakna kebersamaan dalam membantu satu sama lain. Nilai gotong royong dalam budaya Lombok mendorong masyarakat untuk saling membantu, terutama dalam kegiatan sosial seperti pernikahan, kematian, pembangunan rumah, serta acara-acara adat dan keagamaan. Semangat ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan yang tak lekang oleh waktu dan berperan besar dalam menjaga keharmonisan antar individu.
Selanjutnya, pada acara adat nyongkolan atau merariq masyarakat Sasak akan berkumpul dan membantu satu sama lain tanpa mengharapkan imbalan. Tradisi ini merupakan acara pernikahan rakyat suku Sasak yang tidak hanya berarti sebagai perayaan saja, melainkan juga sebagai wujud nyata dari konsep pawongan. Seluruh elemen masyarakat akan bersatu dan merayakan bersama. Kegiatan gotong royong yang melibatkan masyarakat setempat dalam acara ini menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pawongan tidak hanya berlaku dalam kehidupan sehari-hari, namun juga dalam menjalankan dan melestarikan budaya daerah.
Selain itu, konsep pawongan juga dapat tercermin dalam tradisi besiru. Tradisi ini adalah salah satu tradisi masyarakat Sasak untuk saling membantu (gotong royong) antar sesama anggota tanpa mengeluarkan biaya (Maryam, dalam Sudarwo, dkk., 2023). Semangat besiru bersifat kolektif, spontan, dan berlandaskan reme, yaitu sikap menolong sesama,atau membantu dengan senang hati, sukarela, dan ikhlas (Murdi, 2018). Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada acara pernikahan, kelahiran, kematian, dan acara-acara adat lainnya.
Mengaktualisasikan konsep pawongan dalam kehidupan modern saat ini tidak hanya akan memperkuat hubungan antarsesama, namun juga dapat meningkatkan kepedulian sosial dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi di sekitar kita. Pawongan mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan penuh penghormatan, sikap tenggang rasa , saling memiliki antara umat beragama, saling menghargai, dan saling tolong-menolong (Padet dan Krishna, 2018). Jika nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan maka akan tercipta hubungan yang harmonis dan selaras antara masyarakat.
Pengimplementasian konsep pawongan dalam kehidupan masyarakat Sasak adalah salah satu langkah penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan harmoni di tengah masyarakat. Dengan melestarikan nilai-nilai ini, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, melainkan juga membangun masyarakat yang lebih peduli dan bertanggung jawab. Kita memerlukan lebih banyak interaksi yang didasarkan pada rasa kasih sayang dan saling menghormati untuk menciptakan lingkungan sosial yang sehat dan harmonis. Mari kita jadikan konsep pawongan sebagai acuan dalam setiap interaksi yang kita lakukan demi menciptakan suasana kehidupan yang damai, aman, nyaman, dan tentram.
Â
Refrensi:
Habibuddin, dkk. (2021). Inkulkasi Nilai-Nilai Nirkekerasan Dalam Budaya Lokal Suku Sasak Di Sekolah Dasar. Jurnal DIDIKA : Wahana Ilmiah Pendidikan Dasar, 7(1), halaman 121-142.
Murdi, L. (2018). Spirit Nilai Gotong Royong dalam Banjar dan Besiru pada Masyarakat Sasak-Lombok. Fajar Historia, 2(1), halaman 39-54.
Padet, I. W., & Krishna, I. B. W. (2018). Falsafah Hidup dalam Konsep Kosmologi Tri Hita Karana. Genta Hredaya, 2(2), halaman 37-43.
Sudarwo, R., dkk. (2023). Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Etnis Sasak (Studi Kasus Kehidupan Komunitas Suku Sasak di Desa Mengkulu Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat). Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora (KAGANGA), 6(2), halaman 407-424.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H