Persoalan Antroposentrisme.Â
Manusia merupakan makhluk berakal budi. Dengan akal budinya, manusia mampu dengan cepat memahami  beragam fenomena yang nampak padanya. Akal budi membantu manusia sampai pada pembentukan suatu konsep yang didasarkan pada hasil refleksi kritis terhadap objek. Aristoteles menyebutnya dengan anima rationale. Pendasaran ini membawa pengaruh yang cukup besar pada struktur realitas yang terbentuk, karena manusia sebagai 'peran utama' di dalamnya. Kemampuan kognitif dari individu beserta di dukung oleh tindakan-tindakan yang dilandaskan pada prinsip kehidupan, manusia bebas melakukan sesuatu. Tetapi yang perlu di ingat adalah, manusia tidaklah seorang diri saja dalam realitas. Ada manusia-manusia lain yang juga membutuhkan ruang untuk bertindak dengan akal budinya. Maka konsep selanjutnya yang menjadi pemahaman akan realitas pada diri manusia ialah sebagai makhluk sosial dan makhluk politik (homo socius & zoon politicon).
Kemampuan dalam diri manusia sering kali tidak disadari akan efek atau dampak pada lingkungannya. Dalam artian ialah, karena sebagai makhluk yang mempunyai 'anugerah' terbaik dari segala makhluk, menjadikan dirinya atau mengklaim bahwa manusia merupakan pusat dari alam semesta (realitas). Pemahaman ini dapat dikatakan sebagai bagian dari konsep antroposentrisme. Kebutuhan manusia menjadi titik tolak sesama individu untuk saling 'bergotong royong', membantu kehidupan sesama menjadi lebih baik, tetapi mengabaikan lingkungan yang seharusnya juga membutuhkan mereka. Alam senantiasa dipandang sebagai wadah untuk menyediakan kebutuhan manusia.
Tumbuhan dan hewan menjadi sebuah alternatif agar manusia dapat bertahan hidup dalam realitas yang selalu bergerak kedepan. Hal inilah yang terkadang, dampak yang ditimbulkan dalam kehidupan semakin tidak seimbang, karena hanya memusatkan diri pada satu titik perhatian dalam semesta, tanpa memikirkan pulan 'makhluk' yang lainnya. Kesadaran yang menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta semakin lama semakin memudar. Kepudaran ini memberi dampak yang cukup mengerikan, bagi alam sendiri maupun bagi manusia yang mengeksploitasinya.
Pengetahuan dan Teknologi: Sarana untuk "Mengeksploitasi" Alam.Â
      Manusia memerlukan suatu bentuk sarana ataupun media untuk dapat mengembangkan potensi di dalamnya. Tidak melulu soal pengetahuan saja yang dikembangkan, mekanisme untuk menjalankan pengetahuan tersebut menjadi suatu hasil konkret yang bisa dirasakan oleh masyarakat juga diperlukan. Misalnya saja dalam membuat suatu obat-obatan untuk kebutuhan kesehatan. Tentunya sejak jaman nenek moyang, sudah ada sebuah penemuan secara tradisional, membuat sebuah alternatif baru untuk menjaga keseimbangan tubuh dalam menjalani hidupnya.
Tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan sebagai energi dalam tubuh, dan mampu pula untuk menjaga kesehatan secara berkala, diolah menjadi suatu bahan yang berguna. Pada perkembangan era selanjutnya, dengan bekal pengetahuan yang semakin berkembang dan teknologi yang semakin mumpuni, tidak merpu lagi menggunakan resep tradisional untuk menghasilkan satu manfaat untuk manusia. Dengan teknologi yang didedikasikan sebagai media yang membantu manusia dalam bekerja, apapun dapat dihasilkan, tidak hanya obat saja. Pengetahuan dan teknologi menjadi daya terpenting dalam era saat ini untuk membantu manusia dalam memproduksi sesuatu. Keuntungan yang dapat digunakan dari adanya pengetahuan dan teknologi adalah mengarahkan kepentingan manusia untuk sesama sebagai makhluk sosial.
Apa yang dikejar oleh manusia dalam kehidupan? Tentunya setiap individu mempunyai tujuan yang dilandaskan pada kepentingan-kepentingan tertentu. Aristoteles menyebutkan bahwa tujuan akhir manusia adalah eudaimonia atau yang sering disebut sebagai kebahagiaan. Mengapa kebahagiaan? Sebab manusia memerlukan dorongan secara psikologi untuk bisa memaknai akan realitas hidup yang dijalaninya. Kebahagiaan tidak melulu soal pribadi, melainkan persoalan publik.
Mengarahkan kepentingan individu untuk kebaikan bersama dalam meraih kesejahteraan adalah salah satu bentuk dari kebahagiaan itu sendiri. Tetapi perlulah kita bertanya: apakah sesuatu yang bersifat bahagia, hanya dapat dirasakan oleh manusia saja? Bagaimana dengan posisi alam sebagai penyedia kebutuhan mereka dalam kehidupan? Akankah mereka dapat merasakannya pula, walau tidak dapat memahami arti dari kebahagiaan itu sendiri? Tidak semua yang berujung baik, akan berbuah baik untuk keseluruhan.
Kebaikan dalam pemahaman manusia lebih sering diarahkan pada kepentingan bagi dirinya sendiri dan sesama. Alam selalu dinomor-sekiankan dalam pola pikir, sebab 'hanya' dipandang sebagai sarana/media/sumber daya kehidupan. Keadaan inilah yang membuat alam sering tidak diperhatikan sebagai bagian yang menyokong kehidupan manusia. Manusia dengan kondisi 'egosentrisnya' mengabaikan alam dan menjadikan mereka sebagai sumber penyedia kebutuhan, bukan sebagai sahabat yang juga merupakan bagian dari "Pencipta".
Etika Lingkungan Hidup: Upaya Membangun "Kembali" Kesadaran Ekologis.Â
      Pada dasarnya, kesadaran ekologis dalam diri manusia telah ada dan sudah menjadi sebuah kodrat yang melekat pada dirinya. Melihat kembali dari sejarah kehidupan pada masa lampau, manusia-manusia purba pada waktu itu, menggantungkan seluruh kehidupannya pada alam. Mereka menyadari bahwa tanpa alam, manusia tidak dapat mempertahankan kehidupannya di dunia. Hal ini yang sampai saat ini dilakukan.
Segala bentuk macam kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, semua berasal dari alam. Walaupun telah adanya teknologi yang semakin maju dan berkembang, didukung oleh sains atau ilmu pengetahuan dari penelitian, tetap saja, dasar dari pembentukannya juga mengambil dari alam. Para ilmu pengetahuan misalnya dalam merumuskan suatu rumus baru (Kimia misalnya), juga mendapatkan inspirasi dari alam. Nampak jelas sekali bahwa kontribusi alam terhadap kehidupan realitas, termasuk pada diri manusia sangatlah berarti. Tidak terbayangkan misalnya jika seluruh alam (ekosistem) yang ada di dunia ini digantikan oleh kemodernisasian perangkat yang ada, mungkin dunia sudah tidak nampak lagi keadaan naturalnya.
      Dari pemahaman ini, tentunya telah memberikan ide tersendiri, bahwa alam sampai saat ini masih memberikan hidupnya untuk manusia. Secara tidak langsung juga, alam menjadi 'sosok' yang ikut juga dalam proses pengembangan kepribadian individu dalam realitas. Ia mau dijadikan sebagai 'objek' dalam akal budi manusia, supaya individu dapat memahami realitas. Ini adalah sebuah pernyataan atas kesadaran pada alam. Banyak dari budaya-budaya dan agama telah menyadari betapa pentingnya alam untuk kehidupan. Tidak melulu untuk manusia saja, melainkan untuk keseluruhan makhluk hidup yang ada di bumi ini.
Dalam tradisi jawa misalnya, konsep Memayu, Hayuning Buwana adalah konsep yang didasarkan pada refleksi atas alam. Hal ini selaras juga pada konsep Dewa-Dewi sebagai simbol dari alam pun demikian. Jikalau ada pertanyaan: mengapa harus membangun kembali kesadaran akan alam sekitar? Jawabannya sederhana. Manusia adalah bagian dari alam, dan tanpa alam, manusia tidak ada dalam kehidupan. Walaupun pernyataan ini masih mengundang pro dan kontra tersendiri dalam menyikapinya, setidaknya upaya ini perlu dilestarikan dan dikembangkan, dalam menghadapi perkembangan yang semakin maju dan pesat.
Alam (Ekologi): Jagalah "Aku" , Layaknya Engkau Menjaga Orang yang Kau Cintai.Â
      Sudah selayaknya kewajiban manusia menjaga alam sebagai upaya hidup berdampingan dalam realitas telah ditentukan. Tindakan-tindakan yang bermakna kebaikan, tidak hanya diam dalam sebuah gagasan ideal saja, melainak pula perlu direalisasikan dan dimaknai kembali sebagai bentuk aktualisasi manusia. Makna baik dan bahagia merupakan sebuah refleksi diri atas tindakannya terhadap diri sendiri maupun orang lain, yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan persoalan dan berguna untuk semua pihak. Maka dari itu, perlu adanya aksi atau tindakan yang diupayakan. Kesadaran ini akan jauh lebih mendalam ketika manusia merefleksikan tindakan-tindakan tersebut. Bukan tanpa sebab atau dasar, tentunya landasan berpikir tetap menjadi pijakan dalam berbuat suatu kebaikan.
Apa yang diinginkan oleh alam kepada manusia? Alam pada dasarnya tidak menyatakan secara konkret dan langsung terhadap manusia atas keinginan dan kemauannya. Manusia 'diminta' untuk menginterpretasikan arti dan makna dari setiap peristiwa yang berhubungan dengannya. Pelestarian dan perawatan sebagai bentuk kasih sayang manusia terhadap alam. Artinya, secara tidak langsung, alam menginginkan sebuah perhatian dan pengakuan secara 'eksistensi' dalam pikiran manusia. Memperlakukan Alam layaknya seorang sahabat yang selalu dibantu dan diperhatikan selayaknya adalah upaya konkret yang dapat direalisasikan. Penghijauan dan pelestarian keseimbangan alam adalah salah satu dari sekian cara manusia mewujudkan ide atau gagasan akan kesadaran ekologis di tengah era digital yang semakin pesat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H