Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam permasalahan pada profesi adalah tentang bagaimana sikap yang seharusnya diambil ketika ada dua permasalahan yang sama-sama berat, sama-sama bertumpu pada satu aspek yang utama, dan harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Seorang dokter akan diuji kebijakannya jika ada 3 pasien yang sedang membutuhkan  perawatan dalam situasi darurat (merenggut nyawa). Hakim akan diuji keputusannya jika ada kasus yang cukup membingungkan dan cukup kompleks dalam penyelesaiannya. Politikus (pemerintahan) diuji kebijakannya jika menghadapi situasi politik dan publik yang dirundung beragam persoalan tatanan dan aturan dalam masyarakat. Semua profesi memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan tersendiri dalam mengatasi dan menemukan solusi. Belum lagi jika ada persoalan yang sama-sama berat, dan itu berada pada 2 jalur ekstrem yang berbeda, yaitu antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa problematika dilematis etika profesi cukup kompleks. Dapat diandaikan bahwa kerumitan suatu permasalahan bagaikan kabel yang berada di satu tiang listrik, dengan arus dan tujuan serta perbedaan aliran yang dilewati. Begitu rumit dan kompleksnya, sampai-sampai tidak menemukan suatu penyelesaian yang praktis, karena tidak semudah itu memetakan dan mengambil suatu kebijakan. Kepentingan pribadi menjadi suatu kepentingan yang juga ditangguhkan pada diri seseorang (dalam kasus ini adalah keluarga), yang merupaka bagian dari lingkup tersebut. Kepentingan publik menjadi tujuan adanya profesi, sebab pahamnya diarahkan pada kepentingan masyarakat, yaitu membantu mereka dalam menyelesaikan permasalahan secara totalitas.
Permasalahan lain yang serupa namun tidak sama ialah tentang upah. Walau upah ini adalaha suatu capaian dari hasil bekerja, namun dalam profesi dipertanyakan, apakah upah itu ditentukan berdasarkan patokan harga dari perusahaan ataukan sebuah apresiasi dari klien? Permasalahannya adalah melihat upah kebanyakan sebagai bayaran yang diberikan pada pekerja atas hasil yang diterima. Dalam profesi, konsep tersebut tidak berlaku. Profesi tidak pernah mematok harga yang tetap berdasarkan indeks keuntungan pribadi. Mereka memang ditujukan untuk memberikan suatu bentuk pelayanan yang totalitas terhadap klien. Dari inilah, upah bukan menjadi suatu tujuan utama yang dicapai dalam profesi. Lalu apakah mereka tidak memikirkan untuk kepentingan dirinya, dalam andaian ada yang harus diselesaikan tentang biaya-biaya lainnya? Bukankah itu termasuk aspek kemanusiaan yang harus diwujudkan juga? Di sini upah tidak menjadi tujuan utama, sebab upah dikonsepkan sebagai bentuk apresiasi terhadap kinerja yang telah dilaksanakan. Adanya bonus yang didapatkan, itu berasal dari pihak klien, tetapi bukan dari profesional itu sendiri.
Banyak fenomena yang menampakkan bahwa seorang hakim dibayar dengan harga yang cukup tinggi dalam menyelesaikan satu kasus yang ada. Etika melihat bahwa harga bayaran hakim di sini menjadi suatu problem tersendiri, pasalnya seharusnya hal itu tidak dibuat dalam bentuk standart harga, karena tujuan hakim adalah memutuskan perkara, bukan mencari uang untuk pemenuhan pribadinya. Praktek-praktek yang serupa ini di kritik oleh etika karena tidak sesuai dengan landasan dan prinsip yang ada. keadilan menjadi sesuatu yang diperjuangkan pada konteks hukum, karena menyangkut aspek kemanusiaan, bukan aspek keuntungan material belaka. Kritikan ini menjadi semakin nampak bagaimana antara kepentingan diri dan kepentingan publik menjadi kasus yang tidak pernah berhenti sampai saat ini.
Kritik Terhadap Etika Profesi
Dalam penjabaran akan etika profesi, tentunya permasalahan yang berkaitan dengan hal ini menjadi suatu bentuk etika berkontribusi di dalamnya. Banyak kritikan yang akhirnya melihat etika profesi belum memberikan suatu paham yang benar-benar pasti. Pasalnya kritikan adanya sistem kontrak dan juga pemberlakuan kode etik pada profesional dirasa kurang meyakinkan. Berangkat dari fenomena yang ada, permasalahan adanya sistem kontrak dan paham tentang upah dalam profesi masih dipertanyakan, kebenaran dan kepastian.Â
Dalam bebeapa sub bidang lainnya, ada pernyataan atau konsep yang dirasa tidak tepat pada konkretnya. Ini menjadi PR bagi etika dan ilmu filsafat yang harus melihat secara lebih mendalam pada perumusan akan kebaikan bersama. Permasalahan-permasalahan teknis hingga konseptual perlu dimatangkan kembali dengan pertimbangan beragam aspek dan dampak yang nantinya ditimbulkan atas keputusan dalam suatu kondisi tertentu.
Prinsip keadilan dan otoritas perlu dipertanyakan kembali apakah selama ini konsep tersebut dijunjung oleh setiap profesional atau tidak. Banyaknya pelanggaran normatif yang di ‘nina bobokan’ menjadi suatu problem tersendiri apaka ada ruang bagi etika untuk menyelesaikannya. Sebab dalam hal ini masih nampak cela-cela yang bisa ditembusi dengan tindakan yang tidak mengarahkan pada prinsip keadilan dan kebaikan bersama.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H