Mohon tunggu...
Sardjito Ibnuqoyyim
Sardjito Ibnuqoyyim Mohon Tunggu... Penulis - Buruh Pendidikan yang tak jelas

Hidup hanyalah sementara. Jika ingin hidup, haruslah cari makan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asyiknya Berteori Konspirasi sehingga Lupa Jumlah Korban Terus Bertambah

19 Mei 2020   14:25 Diperbarui: 19 Mei 2020   14:26 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingatkah kita dengan teori konspirasi bumi bulat maupun datar? Kita tentunya tidak akan tahu tanpa melalui pengalaman melihat dan merasakan. Melihat bisa mengatakan apa yang dilihat dan begitu pula dengan apa yang dirasakan. 

Ini hanya persoalan pengalaman, tapi ketika memasuki dunia kepercayaan, maka sirnalah persoalan pengalaman tersebut. Nuansa ilmiah dan objektif kita pun menjadi hilang dan tak sebanding dengan orang-orang yang hanya berdiam diri. 

Mereka yang berdiam diri ternyata sedang asyik memanjakan mata mereka di depan layar gadget yang mereka miliki. Namun, ini tergantung dari arti keasyikan yang kita pahami. Misalnya, bermain mobile legend tanpa batas waktu yang ditentukan sampai harus lupa bersosialisasi di dalam rumah.

Namun, apa bedanya keasyikan berteori dengan keasyikan bermain? Ini jelas sangat berbeda, paling tidak bermain mobile legend memiliki aspek sosial yang dimana kita harus membutuhkan teman untuk bermain. Bermain jelas tidak mesti serius atau bahkan mempengaruhi orang banyak. Inilah perbedaannya.

Keasyikan berteori konspirasi adalah keasyikan kita percaya sesuatu dan persoalan bagaimana orang lain juga ikutan percaya. Namun, pada awalnya kita harus mencari dahulu apa yang membuat kita percaya, dan mengapa begitu penting untuk orang lain percaya. Di sinilah teori konspirasi akan menciptakan viralismenya.

Terjadi viralisasi dan banyak orang memperdebatkannya. Bumi datar atau tidak berubah menjadi persoalan kepercayaan. 

Yang menariknya lagi, jika kita menemukan orang yang tak mau menerima argumentasi orang lain. Ini terkait dengan diri sang teoritikus. Dia memilih dunianya sendiri ketimbang mencari kebenaran. Namun, bukan berarti kita mengabaikan sumbernya.

Biasanya apa yang kita lihat di depan layar berbeda dengan apa yang kita lihat di dunia nyata. Apa yang kita lihat di depan layar kita hanyalah berupa layar tanpa memperlihat fisik nyata dari yang seharusnya. 

Kita bisa melihat bagaimana corona pada awalnya dikatakan sebagai "tentara tuhan". Ini berlaku bagi sebagian orang. Padahal kita tak tahu menahu apakah itu memang tentara tuhan seperti yang dikatakan. 

Tidak ada bukti fisik yang menyatakannya. Yang ada hanyalah asumsi yang dihasil dari kesimpulan subjektif di depan layar. Namun, lebih dalamnya lagi, apa yang kita lihat di depan layar biasanya bersifat menghibur. 

Ini semacam penyangkalan dari realitas. Misalnya, dahulu ada yang mengklaim kalau kita sebagai warga Indonesia kebal dari virus ini karena kita telah mengalami beragam penyakit virus mematikan. Corona hanyalah sebagian kecil saja dibandingkan virus lainnya.

Di depan layar yang begitu menghibur dan pengabaiannya dari realitas membuat kita berasumsi yang pada hasilnya menjadi sebuah teori konspirasi. Tidak ada yang tahu secara pastinya. Yang pasti hanyalah jumlah korban yang tidak sedikit.

Selain tentara tuhan, ada juga yang membuat wacana bahwa ini semacam propaganda komunisme. Bahkan, ada juga sebaliknya, bahwa ini semacam pertarungan antar para elit global. Di depan layar yang begitu menghibur membuat kita semakin asyik dan nyaman, tanpa mengingat bahwa kita sudah begitu kaku melihat kenyataan.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ini salah satu dampak dari working from home atau bekerja dari rumah. Namun, yang paling dominan adalah budaya yang kita miliki. Itu dikarenakan pengaruh budaya yang begitu membekas pada kebiasaan kita. Maka tidak heran jika ada yang bebal.

Bebal pada kelalahan oleh tenaga medis yang berperang di garda depan, jumlah korban yang terus bertambah, dan seterusnya.

Keasyikan kita pada depan layar sudah menjadi lebih buruk dari biasanya. Dan mungkin sebagian besar dari kita sangat jarang membiasakan berpikir kritis atau membaca buku-buku. Atau paling tidak, kita memegang satu budaya yang dimana nuansa etikanya masih dominan.

Kita mungkin bisa mengambil contoh kecil dari sebuah budaya tradisional yang masih dijaga hingga saat ini. Bali melakukan tugasnya dengan baik. Para warganya begitu tawadhu atau tenang dalam mendengarkan aturan pemerintah setempat. Dan yang membuat takjub lagi, rakyat ikut turun tangan untuk menjaga sesamanya. 

Sebagai seseorang yang pernah berkunjung di sana, saya merasakan ketakjuban melihat warga lokal berdoa pada dewa penjaga tanah lot, dan sangat berbeda dengan para wisatawan yang sedang asyik berfoto ria dengan dewa penjaga tersebut. 

Untuk sebagian orang memiliki banyak dewa mungkin itu adalah hal yang buruk, tapi tidak berarti tidak berpengaruh pada standar moral yang dimiliki. 

Banyak dewa mendorong kita mengalami fenomena moral yang lebih dalam. Mungkin inilah yang dibutuhkan saat ini dari pada sebuah teori konspirasi yang begitu banyak membuang waktu kita karena kita terlalu asyik.

Bumi datar atau tidak, corona itu tentara tuhan atau propaganda komunisme, atau peperangan antar sesama para elit global, apakah semua itu penting demi kepentingan kita saat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun