Film Silence yang sangat berbau politik di Jepang mungkin bisa dapat dianalisa. Max Weber sendiri yang menjadi pisau analisa dalam film tersebut menurut penulis dapat dikaitkan. Pertama, karena fokus Max Weber dan film itu sealur. Max Weber berfokus pada politik dan agama, sedangkan dalam film tersebut sangat khas dengan politik praktis. Kedua, karena struktur teori Max Weber itu sendiri. Secara singkat, mari membahas tulisan ini.
Teori Max Weber pertama yaitu tentang kategori tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Tindakan sosial itu sendiri terbagi atas 4 kategori. Pertama, tindakan rasional instrumental, tindakan ini secara instrumental bersifat rasional, tentunya alat dan tujuannya sangat diukur berdasarkan rasionalitas.Â
Kedua, tindakan nilai rasional, tindakan yang sangat tergantung pada kepercayaan sadar akan nilai sehingga caranya bisa menjadi irasional. Ketiga, tindakan afektif, tindakan ini baik alat dan tujuannya tidak bersifat rasional melainkan 'bermakna'. Keempat, tindakan tradisional, tindakan yang tertanam secara adat kebiasaan. Bisa dikatakan bahwa alat dari tindakan ini bersifat rasional sedangkan tujuannya tidak. Sebagai tambahan, Habermas melihat keempat tindakan sosial ini dengan kacamata komunikasi. Menurutnya, komunikasi tertinggi didapatkan pada tindakan nilai rasional sedangkan terendah terdapat pada rasional instrumental namun komunikasi ini terjadi dengan kesadaran yang tinggi. Berbeda dengan tindakan tradisional dan afektif, tindakan tradisional mempunyai potensi komunikasi tertinggi namun kesadaran rendah sedangkan tindakan afektif lebih cenderung dengan komunikasi rendah dengan kesadaran rendah juga.
Dalam film tersebut, tindakan afektif terkesan begitu kuat. Setibanya pendeta Rodrigues dan Garupe di pulau tomogi, Jepang, mereka sangat terkesan dengan tindakan mereka yang sarat 'bermakna' akan agama. Itu terlihat ketika kedua pendeta itu disuguhkan makanan, kedua pendeta yang begitu kelaparan sehingga untuk berdoa dan langsung memakan apa yang disugguhkan itu sedangkan mereka orang tomogi berdoa terlebih dahulu. Rodrigues begitu terkesima dan kebingungan, mengapa agama mereka sangat kuat? Apa yang membuat mereka kuat dengan muka tebal seperti itu? Perlu diketahui, orang-orang tomogi itu mempunyai pekerjaan seperti nelayan dan petani. Mereka tersiksa dengan status mereka.Â
Selain kerja paksa, pajak juga menunggu. Namun disayangkan tindakan afektif memiliki komunikasi rendah sehingga hubungan antar desa tak begitu kuat, mereka tak percaya dengan satu sama lain. Selain tindakan afektif, tindakan tradisional hanyalah formalitas belaka. Pada saat sang inkuisitor, Inoue Masashige, datang beserta tentaranya, para penganut kristen ketakutan karena salah satu dari mereka didapati. Salah satu dari mereka walaupun masih belum diketahui seorang penganut kristen memprotes, mereka sudah membayar pajak dan juga, menyembah sang Buddha di kuil.Â
Namun, tentunya sang inkuisitor tahu bahwa itu hanya dalih belaka. Dengan kekuasaan yang dimiliki sang inkuisitor membuat tindakannya lebih rasional. Dan itu menjadi ujian bagi penganut kristen yang diam-diam itu. Jadi bisa dikatakan tindakan sang inkuisitor itu tindakan rasional instrumental. Sang inkuisitor menguji mereka dengan memberi uang berkisar 100 perak untuk seorang penganut kristen, 200 perak untuk dua orang kristen, dan 300 untuk seorang pendeta. Selain ujian uang itu, mereka diharuskan menginjak replika patung yesus (fumi-e), jika tidak mereka akan disiksa. Sang penguasa dengan tindakan instrumental rasionalnya memiliki kesadaran tinggi sehingga mereka peka jika ada yang menganggu kekuasaannya.
Teori kedua max weber berfokus pada dominasi. Dominasi itu sendiri dihasilkan berdasarkan perpaduan antara legitimasi dan power. Jika seseorang memiliki power tapi tak memiliki legitimasi itu sama saja bukan dominasi. Sedangkan jika hanya sebuah legitimasi tanpa power itu juga bukan dominasi. Legitimasi itu bisa berupa sebuah persetujuan, peraturan, atau adat istiadat yang dapat diterima. Dan rumusan max weber ini ia tuangkan dalam tipe otoritasnya. Tipe pertama ialah tipe tradisional, tipe ini mempunyai legitimasi berdasarkan kesucian aturan kuno. Orang yang melaksanakan tipe otoritas ini tidaklah seorang yang superior tapi lebih merupakan seorang penguasa yang memiliki hubungan personal terhadap kaum bawahannya.Tipe kedua, otoritas karismatik. Tipe otoritas yang satu ini lebih berdasarkan pada suatu keajaiban yang dimiliki oleh seorang tokoh dan bisa dikatakan tokoh tersebut memiliki kekuatan supernatural yang bisa memukau jutaan orang. Tipe ketiga lebih merujuk pada tipe otoritas legal rasional. Otoritas ini bergantung pada kepercayaan peraturan yang didirikan secara legal untuk menjalankan perintah.
Di dalam film Silence tersebut memang otoritas yang sangat berpengaruh adalah otoritas tradisional. Jadi bisa dikatakan ini merupakan sistem feudal yang di mana yang mutlak adalah para penguasa. Dan ditambah lagi oleh Max Weber, ada hubungan personal yang di mana itu melebihi kapasitas sistem itu tersendiri. Ini juga menjadi penyebab mengapa kaum kristen Jepang disebut sebagai Kakure Kirishitan, atau penganut kristen secara rahasia. Sang inkuisitor atau bahasa jepangnya, Metsuke, merupakan seorang penguasa atau inspektur yang memang memiliki hak istimewa dari pada yang lain. Sedangkan kaum bawah seperti petani dan nelayan mau tak mau merasakan penyiksaan yang sangat berat, selain bekerja keras ada pajak yang menunggu. Jika kita melihat, kristen masih berbau otoritas karismatik. Apa yang dibawakan Yesus tentunya membuat orang terpukau.Â
Pendeta Garupe dan Sebastian terpukau dengan tindakan mereka yang lebih cenderung ke arah afektif. Tekanan yang diberikan pada mereka kaum bawah justru memberikan legitimasi pada otoritas karismatik. Mengapa tidak, tindakan pembaptisan itu bisa menghapuskan dosa-dosa mereka yang belum dibaptis, dan tindakan confession dapat membantu mereka secara psikologis sehingga kaum penguasa merasa terancam dengan tindakan seperti ini.
Di dalam cerita di dalam film tersebut membuat para penonton merasakan ketegangan batin yang berketerusan. Konflik batin yang dirasakan pendeta garupe sangat begitu berat, kadang dia ingin melepaskan kepercayaannya, justru dia kembali bertaubat. Namun toh tidak lengkap kalau tidak menonton film itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H