Nah, pasti para pembaca kagak tahu apa sih itu eksistensialis religius? ism-ism memang bikin ruwet dalam kancah pemikiran tapi yang di sini dibahas bukan itu loh. Eksistensialis religius merupakan istilah yang dipakai oleh salah satu filsuf eksistensialis yaitu Søren Kierkegaard. Beliau merupakan seorang filsuf besar yang bisa dikatakan ilmunya setara dengan Al Ghazali.
Walaupun penulis ingin menyuruh para pembaca mencari lebih perinci di om google, tapi rasanya kurang srek ya. Yah geto deh, mungkin penulis bisa membahas hal yang umum aja.
Wahai pembaca yang budiman dan aniwoman, eksistensialis religius itu merupakan seseorang yang berada dalam level tertinggi antara Tuhan dan manusia. Bagi Søren Kierkegaard, cara berada itu merupakan tingkat tertinggi dari dua level sebelumnya, yaitu estetika dan etik. Estetika merupakan cara berada yang paling dasar. Semuanya serba materi, karena itu indah sehingga terkesan hedonis. Musuhnya adalah kebosanan, dan keputusaan. Oleh karena itu, meninggalkan cara berada ini diharuskan ke tingkat selanjutnya, yaitu etika. Misalnya seorang lelaki hanya mencintai seorang wanita yang cantik dikarenakan karena ia senang melihatnya, bisa ditebak kalau dia hanya mencintainya hanya karena pisik. Kasihan yang tak cantik dan ganteng. Cinta seperti ini terkadang ditemukan di infotaimen-infotaimen tilipisi. Dan juga, cinta tersebut tak akan bertahan lama. Cinta itu membunuhmu (Bukan penulis loh)
Oleh karena itu dibutuhkan yang namanya etika, untuk mempertahankan suatu hubungan. Loh kok malah curcol ke cinta. Namun, etika juga ada batasnya, seperti kesetiaan, komitmen, dan peraturan. Misalnya saja ketika orang lelah dalam hubungan percintaan. Eits, bukan percintaan antara kekasih. Dalam percintaan sakral antara tuhan dan manusia, Nabi Ibrahim mungkin sudah dikatakan gila untuk menyembelih anaknya, yaitu Nabi Ismail. Secara etika itu tak masuk akal dan bahkan gila, tapi di sinilah esensi dari eksistensialis religius, sebuah cara berada yang tertinggi. Banyak yang mengatakan orang yang punya jenggot itu sama dengan teroris, tapi eits, itu dari segi etika. Kata Kierkegaard kadang pengetahuan kita yang sebelumnya menutup kita dari kebenaran yang sebenarnya.
Nah itu baru pengantar dari tulisan ini, mangkanya tau rasa kalau ga buka mbah google (maafkan sahaya wahai pembaca)
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah eksistensialis sang anak, bapak AHY. Banyak yang mengatakan bahwa itu sikap kesatria, namun itu adalah opini umum yang ada di media-media. Toh, media punya kode etika tersendiri. Pidato AHY secara ontologis berisikan sebuah pencerahan dan teladan bagi masyarakat yang hanya terjebak dalam rana etika.
 Sensasi religius yang dibawakan oleh beliau merupakan sesuatu yang sangat khas dibandingkan jika hanya dilihat dari segi kesatriaannya. Kadang kalau merujuk ke dalam etika, jebakan seperti peraturan itu sangat terkesan. Ketika nama seseorang yang sudah jelek, mungkin ada beberapa yang tak menyukainya. Sang penulis misalnya pernah memakai baju koko ke kampus merasakan panasnya mata penduduk sekitar. Sebab dan mengapa itu dikarenakan banyak yang memakai baju koko itu terkesan seperti peminta sumbangan. Jangan terjebak dengan Formalisme! Beliau pun sekarang jadi bahan rebutan. Ada beberapa media yang mengatakan seperti itu.
Sedangkan sang Ayah yang sang penulis hormati, formalisme atau bentuk-bentuk kicauan beliau juga terkesan kurang srek, apa lagi ketika Antasari mengadunya. Kesan dialektis dari beliau itu mungkin sudah lama diketahui banyak orang.
"Wahai Rakyatku & Saudara"ku. Janganlah kita larut dlm Demokrasi yg (yang) Menyesatkan (Fitnah). Masih bnyk (banyak) cara yg (yang) lebih Ksatria menuju satu tujuan," tambahnya, cuitan yang diretweet lebih dari 500 kali dan puluhan tanggapan. Kata BBC indonesia dari salah satu akun tweeter.
Dari kicauan tersebut, banyak pengguna tweeter yang berkicau dan mengatakan yang sebaliknya. Tapi jangan karena ini, sehingga mudah berburuk sangka.
Dahulu kala, penulis masih mengingat akan keindahan yang dibawakan pidato oleh mantan bapak presiden kita, yang begitu diplomatis dan diksinya juga sangat berbeda pada umumnya. Keindahannya begitu indah, tapi itulah seni formalisme, yang mungkin rasanya terkesan sangat etis dibanding religius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H