Masih berbicara tentang kasus Mario Dandy Satrio, seorang pemuda yang melakukan tindak kekerasan pada David Ozora berusia 17 tahun. Kekerasan yang dilakukan Mario berujung pada kondisi David yang harus dilarikan ke rumah sakit dan tidak sadarkan diri. Tindakannya disebut keji.
Sebuah pertanyaan di ruang kerja saya pun muncul, di tengah obrolan kasus tersebut bersama rekan-rekan pengajar. "Bagaimana bisa seusia Mario bisa melakukan hal tersebut?" Otomatis orang tua Mario Dandy menjadi sorotan dan menjadi salah satu pihak yang dipersalahkan.
Hal itu wajar, bagaimanapun, keluarga adalah tempat pertama untuk menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan.
Kerap kali ketika menghadapi siswa dengan kenakalan remajanya, saya selalu bertanya dan berusaha mencari tahu tentang latar belakang dan pola asuh keluarga. Hasilnya? Selalu ada benang merah antara perilaku siswa dengan pola asuh keluarga.
Bagaimana dengan kasus Mario Dandy? Tentu saja pola asuh keluarga berkontribusi membentuk pribadi Mario dan pilihan-pilihan kehidupannya. Kasus ini bisa dibilang adalah buah dari nilai yang ditanam dan ditumbuhkan di tengah keluarga.
Kesalahan pola asuh bukan semata-mata berdiri sebagai satu faktor yang mengakibatkan kenakalan remaja, kekerasan dan perilaku menyimpang lainnya , tapi juga bukan faktor yang dapat dipandang sebelah mata. Kontribusinya besar bagi sebuah individu.
Mengutip pernyataan psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel dalam interview dengan Sapa Indonesia Akhir Pekan-KompasTV dimana ada 2 tipe pengasuhan yang keliru:
1. Neglectful
Tipe pola asuh dimana orang tua melakukan pengabaian terhadap anak. Pada tipe ini, orang tua sebatas memenuhi kebutuhan dasar dan tidak menaruh perhatian pada perkembangan sosio emosional bahkan kerohanian anak.
Saya menemui pola asuh seperti ini dimana ketika anak tumbuh di usia remaja (baca: SMA) mereka, orang tua mulai abai, menganggap bahwa anak remajanya sudah mampu mengatur dirinya sendiri. Asal nilai beres, orang tua tidak dipanggil pihak sekolah berarti segala sesuatu berjalan baik.
Nyatanya tidak semudah itu. Kebutuhan mereka rumit dan sangat dibutuhkan peran orang tua menjadi role model bagi mereka.
Bagaimana mereka belajar hormat pada orang yang lebih tua, bagaimana mereka belajar mengatur keperluan dan diri mereka sendiri, bagaimana mereka bicara dan belajar menyaring informasi dari media. Bagaimana mereka memuaskan rasa ingin tahu mereka akan sesuatu. Siapa yang bertanggungjawab untuk itu? Orang tua.
2. Over Pampering
Ini kebalikan dari pola Neglectful. Pada pola asuh ini, anak dimanja dari sisi materi dan afeksi. Semuanya keinginannya dipenuhi, orang tua enggan mengucap kata tidak, ataupun alih-alih ingin memberi yang terbaik bagi anak.
Boleh saja kebutuhannya dipenuhi, namun menjadi orang tua pun perlu bijak-bijak dalam memenuhi kebutuhan dan menyayangi anak. Jika tidak, orang tualah yang kesulitan nantinya. Anak hanya tahu bahwa semua keinginan dan kemauannya harus dipenuhi segera. Anak tidak mengenal susah, dia hanya tahu bahwa semua ia dapatkan dengan mudah.
Mari belajar dari kasus Mario. Setiap anak perlu kehadiran orang tuanya. Hadir secara fisik memberikan waktu, tenaga dan pikirannya. Bukan sekedar uangnya atau hartanya. Namanya anak, selamanya anak. Berapapun usianya dia tetap perlu tuntunan orang tuanya dalam batas-batas wajar sesuai usianya.
Anak yang dulu kita nantikan dan menjadi sumber sukacita, semoga sampai dewasa pun demikian. Menanamkan nilai baik padanya, kita pun yang menuainya.
Selamat merenungkan dan merefleksi diri.
Sebuah pengingat bagi saya dan kita semua... .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H