Mohon tunggu...
Yenny Liana
Yenny Liana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Catat yang berharga dan lewatkan yang cuma cari perkara.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sastra Anak untuk Dunia Anak

26 Desember 2014   23:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:24 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastra anak merupakan pembayangan atau pelukisan kehidupan anak yang imajinatif ke dalam bentuk struktur bahasa anak. Sastra anak merupakan sastra yang ditujukan untuk anak, bukan sastra tentang anak. Sastra tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra untuk anak sudah tentu sengaja dan disesuaikan untuk anak-anak selaku pembacanya.

(Puryanto, 2008:2)

Membincang sastra anak sama saja dengan kita memutar kembali jarum jam dengan mengingat masa kanak dulu saat menjelang tidur, ketika kakek, nenek, dan atau orang tua kita mendongengkan cerita tentang kancil, buaya, harimau, juga legenda asal-usul sebuah daerah. Tanpa kita sadari, sejatinya keluarga kita telah mengajak kita untuk belajar sastra. Terlepas dari motif komunikasi antar anggota keluarga, pada momentum tersebut, sastra telah menjadi gerbong nilai-nilai sosial, humanitas, kepada kita sebagai kembang kuncup yang menuju mekar.

Dunia anak adalah dunia kaya imajinasi. Sebagai anak-anak, kita dulu pasti pernah mengimajinasikan diri kita sebagai tokoh dalam dongeng, super hero, tokoh kartun, bahkan mungkin presiden Jokowi. Sekarang sebagai orang tua, tentu tugas kita semua adalah memberikan arah imajinasi anak-anak ke wilayah yang positif. Mengajak anak-anak kita mengimajinasikan diri sebagai tokoh-tokoh protagonis dalam cerita merupakan sesuatu yang bisa kita semua lakukan dalam konteks belajar sastra sejak dini.

Hal ini sejalan dengan pandangan Wahidin (2009:27) yang menyebutkan bahwa sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Dalam perkembangan psikologi anak yang normal, sastra yang akan dikenal-bacakan pada mereka tentu hendaknya mengandung tema yang mendidik, alurnya lurus, berlatar dan berkonflik yang dekat dengan mereka, tokoh-tokoh yang layak diteladani, dan gaya bahasanya mudah dipahami oleh anak-anak. Karena beberapa prasyarat di atas, justru yang menjadi penanda karakterisasi sastra anak itu sendiri. Tidak terbatasnya imajinasi bisa jadi sangat dimungkinkan, namun beberapa prasyarat di atas menjadi rambu-rambu materi karya sastra apa yang “aman” dikonsumsi oleh anak-anak.

Sarumpaet (dalam Santoso, 2003:84), menyebutkan 3 ciri pembeda antara sastra anak dengan sastra orang dewasa, meliputi: (a) unsur pantangan, (b) penyajian dengan gaya langsung, dan (c) fungsi terapan. Lebih lanjut, unsur pantangan, yaitu unsur yang yang secara khusus berhubungan dengan tema dan amanat. Artinya, sastra anak pantang atau menghindari masalah-masalah yang menyangkut tentang seks, cinta yang erotis, dendam yang menimbulkan kebencian atau hal-hal yang bersifat negatif. Sedangkan, penyajian dengan gaya secara langsung, artinya tokoh yang diperankan sifatnya hitam putih. Maksudnya adalah setiap tokoh yang berperan hanya mempunyai satu sifat utama, yaitu baik atau jahat. Terakhir, fungsi terapan adalah sajian cerita harus bersifat menambah pengetahuan yang membawa kebermanfaatan.

Ditinjau dari segi pragmatiknya, sastra anak berfungsi sebagai pendidikan dan hiburan. Fungsi pendidikan pada sastra anak memberi banyak informasi tentang sesuatu hal, memberi banyak pengetahuan, memberi kreativitas atau keterampilan anak, dan juga memberi pendidikan moral pada anak.

Bermain adalah dunia anak, karena anak-anak pada usia dini memahami dunia sekitarnya secara alami melalui bermain. Bagi anak, bermain bukan sekedar kesenangan, melainkan juga merupakan sarana belajar untuk mendapatkan pengetahuan, pembentukan watak dan sosialisasi. Untuk mengoptimalkan waktu bermain anak diperlukan adanya program bermain yang terencana, yang dikembangkan berdasarkan tahap-tahap tumbuh-kembang dan minat, bakat serta kondisi lingkungan di mana anak tinggal.

Para pakar pendidikan sepakat, usia dini (0 – 5 tahun) adalah usia emas (golden age) yang sangat berpengaruh pada kepribadian anak selanjutnya karena perkembangan IQ, EQ, dan SQ berkembang sampai 80%. Dengan membiarkan anak bermain sesuai kemampuan dan bakatnya akan menumbuhkan keterampilan psikomotorik anak, baik psikomotorik kasar maupun psikomotorik halus. Cara yang efektif dalam mendidik anak usia dini adalah melalui pendekatan saat anak bermain sendiri atau berkelompok, orangtua maupun tenaga pendidik bisa menjadi teman bermain, mengarahkan serta mengajak anak berpikir menggunakan logika dan membedakan mana yang baik dan yang tidak baik.

Orangtua merupakan guru pertama, utama, dan terbaik bagi anak.

********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun