Mohon tunggu...
Yenny Kristanto
Yenny Kristanto Mohon Tunggu... Guru - Guru

I enjoy the smell of popcorn in the cinema, I love the scent of a newly opened book, and I am fascinated by the aroma of gas petrol. I cherish the giggling of those pair of rounded eyes filled with curiosity. I wonder how not to be grateful for each and every simple thing because there's always beauty in it. As failures and successes transform into bridges I'm learning to walk on the path that I've taken and trusted its process to the universe. Be continuously unstoppable in learning and spreading kindness. At the end of the day, love and teachings are the true legacies.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Learning by Doing: A Personal Note

20 Oktober 2022   00:30 Diperbarui: 11 November 2022   15:03 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"All genuine learning comes from experience", Jhon Dewey adalah salah satu filsuf Amerika ternama yang banyak memberikan kontribusi penting dalam ilmu Pendidikan. Ia adalah salah satu pelopor dalam menciptakan pengajaran yang kontekstual di kelas. Ia menjadi pemikir yang mengubah sistem pendidikan multikultural di Amerika Serikat yang pada awalnya mengutamakan asimilasi menjadi perilaku sosial dengan sistem demokrasi dan toleransi. Pemikiran-pemikiran John Dewey memiliki implikasi yang besar bagi pragmatisme. Eksperientalisme adalah buah salah satu pemikiran pragmatismenya. Ia menjadikan pertumbuhan manusia sebagai tujuan dari pendidikan. Ia beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat selalu berubah oleh sebab itu pemikirannya dinamainya sebagai pertumbuhan. Pemikiran pragmatismenya menjadi salah satu landasan pemikiran yang menjadi cikal bakal penyelenggaraan pendidikan massal. Salah satu prinsip teori Dewey yaitu Learning by doing dan berikut adalah sepenggal cerita pengalaman pribadi saya di luar kelas.

Salah satu pengalaman memorable bagi saya mengenai learning by doing adalah waktu saya belajar mengendarai mobil pada tahun 2010. Pada waktu itu, saya mengambil kursus mengemudi sekitar 5 hari. Selama kursus tentulah tidak ada hambatan yang berarti yang ditemukan, karena guru pendamping mempunyai pedal tersendiri ketika kita mengemudi sehingga kita merasa sangat terbantu. Faktanya, mengendarai mobil yang sesungguhnya adalah ketika kita mulai berkendara sendiri. If you give a man a fish, you feed him for a day If you teach a man to fish, you feed him for a lifetime. (Confucius, 551-479 B.C.)

Ada beberapa kejadian yang saya alami boleh dibilang aneh dan lucu terjadi pada waktu itu. Perdana meluncur tanpa pendamping ketika berkendara, membuat dengkul ini bergetar, ada kelegaan yang sukar dijelaskan ketika kaki sudah menapakan diri ke tanah. Momen yang tak terlupakan adalah ketika pulang melewati rumah tetangga, seorang  bapak berlari sambil berteriak bahwa mobil saya berasap. Dalam hati, batin saya berguman, aduh tentu saja keluar asap pak, masak iya keluar air... Akan tetapi ketika diperhatikan mengapa asapnya makin lama makin banyak ya.  Astaga!, ternyata saya lupa menurunkan rem tangan!!! Jadi selama perjalanan kurang lebih 15 km itu saya lupa  untuk menurunkan rem tangan, ya Tuhan...! Kemudian si bapak yang baik hati itu pun berlari membawa seember air, ia siramkanlah ke mobil saya. Byurrr, dingin, hening dan malu tercampur menjadi satu.

Lalu kejadian kedua yang tak terlupakan adalah ketika saya pergi dengan seorang teman.  Saya menyetir dalam kondisi macet, mobil berjalan perlahan. Kemudian ketika lagi asyik mengobrol.  Ternyata tanpa  sengaja hidung mobil saya menyenggol bokong seorang pejalan  kaki. Si ibu pun langsung marah. Tetapi yang menimbulkan tanda tanya saya adalah,  kenapa marahnya sama teman saya yang duduk di bangku penumpang, bukan sama saya yang selaku supir...hehehe.

Sempat pada waktu awal mengemudi saya  sempat merasa down karena ekspektasi dibawah realita. Ternyata untuk mahir dalam menyetir tidak bisa didapatkan dalam waktu seminggu atau sebulan. Khususnya untuk hal perparkiran dan tanjakan. Mungkin ada yang cepat bagi yang bertalenta. Tetapi dalam kasus saya membutuhkan waktu yang cukup lama berbulan-bulan sampai menuju tahap dimana parkir paralel atau parkir mundur dengan cuma sekali kibas. Namun seiring berjalannya hari, dan kemauan untuk berlatih, semua menjadi terasa sangat mudah sekali. Bagaimanapun ada semburat kebanggaan ketika kaum Adam memberikan apresiasi ketika menyetir, karena selama ini ada stigma bahwa wanita adalah makhluk yang kurang piawai dalam berkendara. 

Terima kasih kepada Tuhan dan semesta yang memberikan perlindungan selama berkendara sehingga bisa terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah terhindar dari kejadian tabrakan beruntun 5 mobil dan truk di Jagorawi sekitar 7 tahun lalu. Selain faktor kuasa Tuhan, tentunya pengalaman juga menjadi bekal penting sehingga saya masih tetap dalam kondisi tenang untuk menghindar sehingga bisa luput dari tabrakan maut tersebut. When we work, we work. When we pray, God works. When both is combined, all things are possible. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun