Mohon tunggu...
Marya Yenita Sitohang
Marya Yenita Sitohang Mohon Tunggu... Peneliti -

Let's live a normal life

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Melawan Stigma, Meningkatkan Akses

5 Desember 2018   07:56 Diperbarui: 5 Desember 2018   08:30 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HIV/AIDS terbukti masih terus bermunculan dan mengalami peningkatan. Laporan organisasi global terkait HIV/AIDS (UNAIDS) menunjukkan bahwa pada tahun 2017, peningkatan kasus terus terjadi di 50 negara, termasuk Indonesia. Tidak hanya pada orang dewasa, kasus HIV saat ini banyak pula ditemukan pada anak usia dibawah 15 tahun, bahkan beberapa diantaranya meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan AIDS. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Perubahan pola transmisi

Sebagai salah satu penyakit menular seksual, HIV/AIDS lebih sering diasosiasikan dengan perempuan pekerja seks komersial (PSK) dan lelaki seks dengan lelaki (LSL). Pendapat ini memang sesuai pada periode awal penularan HIV/AIDS yaitu di tahun 1987 hingga 1997. Secara perlahan, penularan HIV/AIDS juga merambah pada kelompok lainnya yaitu pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA) dengan jarum suntik sejak 1997 hingga 2007. Lalu setelah itu, tren penularan HIV/AIDS berpindah pada kelompok yang tak terduga yaitu ibu rumah tangga.

Pada tahun 2016, kelompok berisiko seperti pekerja seks hanya menyumbangkan 3,4%, sedangkan masyarakat umum seperti ibu rumah tangga, karyawan swasta, serta wirausaha menyumbangkan 40,3% dalam jumlah kasus AIDS di Indonesia. Hal ini dikarenakan lebih dari separuh (50,3%) bentuk penularan HIV adalah melalui hubungan seksual dengan pasangan beda jenis kelamin (heteroseksual). Faktanya, sebagian besar ibu dengan HIV/AIDS umumnya mendapatkan penyakitnya dari laki-laki dengan HIV/AIDS. Sebanyak 4,9 juta ibu rumah tangga menikah dengan pria berisiko tinggi dan sebanyak 6,7 juta laki-laki di Indonesia merupakan pembeli seks. Ibu rumah tangga tidak memiliki kekuasaan mengendalikan perilaku seksual pasangannya di luar rumah, khususnya ketika pasangannya mempunyai pekerjaan dengan mobilitas tinggi.

Padahal, ibu rumah tangga adalah kelompok yang sebagian besar akan menjadi ibu hamil dan meneruskan keturunan. Kejadian HIV/AIDS pada ibu hamil semakin meningkat dan umumnya ditemukan pada usia 20-29 tahun. Selain itu, HIV/AIDS pada ibu hamil menyebabkan masalah yang lebih berat karena dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu dan menular kepada bayi selama masa kehamilan, saat melahirkan maupun menyusui.

Kurang optimalnya layanan PPIA

Fenomena HIV/AIDS diantara ibu rumah tangga cukup menarik perhatian pemerintah sehingga layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) dilaksanakan sejak 2004. Layanan PPIA yang terdiri dari pemeriksaan HIV, pemberian antiretroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus dalam darah, serta konsultasi terkait kontrasepsi, persalinan yang aman serta pemberian makanan pengganti ASI pada bayi. Optimalisasi layanan PPIA ini terbukti akan mampu menekan penularan HIV dari ibu ke anak hingga 2%. Namun sayangnya, layanan ini belum berjalan optimal karena jangkauannya yang cukup rendah. Hingga 2011, layanan ini baru berhasil menjangkau 7% dari jumlah ibu hamil yang membutuhkan layanan tersebut.

Upaya penguatan dan percepatan cakupan layanan dilakukan di tahun 2011 melalui penggabungan layanan PPIA dengan layanan yang biasa diterima ibu hamil selama masa kehamilannya yaitu antenatal care atau ANC. Namun tetap saja, hingga saat ini PPIA baru bisa menjangkau sekitar 54% dari kelompok sasarannya.

Lemahnya jangkauan layanan PPIA ini merupakan tanggungjawab dari dua belah pihak, baik pelayanan kesehatan sebagai penyedia layanan maupun ibu hamil sebagai pengguna layanan. Kurangnya tenaga kesehatan baik secara kuantitas dan kualitas masih menjadi hambatan. Selain itu, kurangnya sarana dan prasaran berupa ruang konsultasi yang memadai sehingga menjamin kerahasiaan informasi semakin mendukung pemberian layanan yang kurang optimal.

Mutu pelayanan yang diberikan dalam layanan PPIA juga masih jauh dari client oriented karena masih belum memenuhi kebutuhan ibu hamil terkait informasi dasar penularan HIV dari ibu ke anak serta peluang untuk terjadinya komunikasi dua arah dari tenaga kesehatan pada ibu hamil. Dari sudut pandang pengguna layanan PPIA, pengetahuan dan persepsi yang positif terkait penularan HIV dan manfaat layanan PPIA menjadi sangat penting untuk dimiliki.

Stigma negatif masih menghambat

Selain dari penyedia maupun pengguna layanan, terdapat stigma negatif yang masih menghambat penanggulangan kasus HIV/AIDS. Seringkali stigma negatif terkait HIV dimulai dari ibu rumah tangga yang merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV, sehingga menutup diri untuk mengakses layanan PPIA. Selain itu, ibu hamil yang mengetahui bahwa ia positif HIV enggan untuk mengakses layanan PPIA lebih lanjut karena takut pada stigma dari masyarakat maupun tenaga kesehatan. Menarik untuk diketahui bahwa meskipun memiliki pengetahuan yang baik, tidak semua tenaga kesehatan akan memperlakukan ibu hamil dengan HIV/AIDS secara baik dan tanpa diskriminasi.

Meski HIV/AIDS telah masuk ke Indonesia sejak 1987, lebih dari 30 tahun yang lalu, sepertinya masih perlu kerja lebih keras lagi untuk menyusun upaya strategis yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS pada ibu hamil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun