Mohon tunggu...
Yeni Rostikawati
Yeni Rostikawati Mohon Tunggu... -

pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jiwa Liar Sutardji dalam Puisi “Kucing” (Analisis Puisi dengan Pendekatan Struktural dan Semiotik)

4 April 2016   10:59 Diperbarui: 4 April 2016   11:44 2930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Si kucing tidak mau roti ataupun daging. Kemudian dalam penggalan tersebut disebut-sebut “Jesus”, Jesus dalam pandangan islam adalah nabi Isa a.s. yang dianugerahi mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti yang tertera dalam al-Qur’an surat ali-Imran ayat 49 berikut: Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. 

Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman. Ungkapan Jesus dalam puisi tersebut menggambarkan seorang yang hebat dan dapat diandalkan karena dalam pemahaman Islam, Jesus adalah seorang nabi, sedangkan dalam pemahaman kristen, Jesus dipandang sebagai Tuhan yang disembah. Namun, pandangan penulis, ungkapan Jesus dalam penggalan tersebut lebih merujuk pada Nabi Isa a.s. yang memiliki mukjizat, yaitu salah satunya dapat membantu orang yang kelaparan. Dasar penafsiran lain adalah bahwa simbol “roti dan daging” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya materi atau keduniaan. Bukan materi yang dapat menghilangkan rasa lapar “si kucing” namun sesuatu yang bersifat imateri. 

Akibat kelaparan tersebut si kucing terus meraung dan meronta hingga merambah “barah darah”. Arti “barah” dalam KBBI adalah bengkak yang mengandung nanah atau bisul, sedangkan “darah” penulis menafsirkannya sebagai simbol kehidupan. Jadi, maksud barah dalam darah adalah suatu cela atau keburukan dalam kehidupan si aku. Jiwa yang kelaparan tersebut terus meronta-ronta dalam kehidupan tokoh yang penuh cela. “Kelaparan” (kekeringan jiwa) yang dialami tokoh dalam puisi akibat terlalu lama dia dalam masa pencarian keyakinan akan Tuhan. Waktu pencarian keyakinan yang panjang tersebut tergambar dalam penggalan syair berikut, “...berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu...”. 

Dalam waktu yang panjang tersebut dia pada dasarnya berada dalam kegelisahan, dia menyadari betul bahwa apa yang dia rasakan adalah fitrah karena fitrah itu sengaja diciptakan Tuhan tanpa diminta makhluknya. Fitrah yang dimaksud adalah kecenderungan manusia beriman kepada Sang Pencipta. Maksud tersebut tergambar dalam penggalan “...tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang di bumi..”. Keadaan yang fitrah itu menuntut untuk merasakan ketenangan walau “sejemput” atau dengan kata lain ‘walau sebanyak yang dapat diambil dengan ujung jari tangan’. Hal tersebut memberikan kesan bahwa jiwa tokoh begitu gelisah dan sangat membutuhkan asupan spiritual. Dalam proses pencarian ketenangan tersebut, tokoh mendapatkan berbagai rintangan tentunya, salah satunya adalah berbagai keyakinan dalam berketuhanan. 

Berbagai keyakinan terhadap Tuhan tersebut tergambar dalam larik “hei berapa tuhan yang kalian punya”, sehingga gambaran tentang banyaknya Tuhan yang dimaksud adalah gambaran betapa tokoh sedang berusaha keras mencari kebenaran yang akan dia yakini karena dari sekian kepercayaan terhadap Tuhan, tokoh belum menemukan satu keyakinan yang benar-benar dia yakini. Hal tersebut tersirat dari larik yang cenderung bernada ironi yaitu “...beri aku satu sekedar pemuas kucingku hari ini ngiau huss puss diamlah...”. Larik terakhir puisi ada satu citraan yang menggambarkan pencarian yang sungguh-sungguh, tokoh aku kembali lagi menelisik jiwanya yang terdalam yang penuh dengan kegelapan yang digambarkan dengan “afrika, amazon, dan riau” dan bahkan di kota-kota sebagai simbol suatu tempat yang menjadi pusat perhatian orang-orang karena kota identik dengan tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Barangkali tokoh menemukan setitik pencerahan yang dia gambarkan sebagai “tuhan”. 

Penggalan larik terakhir berbunyi, “...aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untukku ngiau huss puss diamlah...”. Namun, tampaknya pernyataan “sekerat untuk kau” itu mengandung makna bahwa apa yang tokoh alami bisa jadi dialami oleh pembaca yang disebut sebagai “kau”. Jika dirunut dari larik awal sampai larik akhir puisi “Kucing” tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa Sutardji menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Muara dari ketenangan itu sebenarnya ada pada keyakinan pada Tuhan atau Allah SWT. dalam analisis ini penulis lebih cenderung melihat keyakinan yang dimaksud oleh Sutardji adalah keyakinan Islam. Dasar yang dijadikan acuan oleh penulis adalah sebuah puisi yang ditulis Sutardji pada masa kekinian.

Dalam puisi tersebut tergambar bahwa seorang “Tardji” (disebut dalam lirik) berada dalam titik kepasrahan diri terhadap Allah SWT, mengakui segala kesalahan yang pernah diperbuat semasa muda (termasuk mabuk-mabukan), dan menggantinya dengan perjalanan hidup yang berusaha lurus kepada Tuhan, beribadah dimana saja berada hingga mencapai titik ‘kembali kepada kesucian jiwa’ yaitu ”Idul Fitri” sesuai judul puisinya. Berikut adalah syairnya: Idul Fitri Lihat Pedang tobat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia Telah kulaksanakan puasa ramadhanku, telah kutegakkan shalat malam telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang Telah kuhamparkan sajadah Yang tak hanya nuju Ka’bah tapi ikhlas mencapai hati dan darah Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya Maka aku girang-girangkan hatiku Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang 

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janji-Nya Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta Maka walau tak jumpa denganNya Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku padaNya Dan semakin dekat semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut di jalan lurus Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kini biarkan aku menenggak marak CahayaMu di ujung sisa usia O usia lalai yang berkepanjangan Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini Kukenakan zirah la ilaha illAllah aku pakai sepatu sirathal mustaqim aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat Dan kurayakan kelahiran kembali di sana 7. Simpulan 

Sebuah karya sastra diciptakan dengan estetika dan makna yang mendalam karena berhubungan dengan emosi penulis. Salah satu jenis karya sastra yang memunculkan berbagai interpretasi perasaan/emosi adalah karya puisi.  Ada banyak simbol atau tanda yang digunakan dalam puisi untuk menyampaikan sebuah maksud pada penulis. Pemakaian simbol tersebut menimbulkan banyak persepsi sesuai dengan daya analisis tiap orang ketika menginterpretasikannya. Akibatnya, sebuah puisi dapat diinterpretasikan macam-macam oleh pembaca. Namun, semakin multiinterpretasi suatu puisi, maka semakin baguslah puisi tersebut karena semakin merangsang daya analisis pembaca terhadap makna puisi. 

Adapun karya sastra yang dibahas dalam makalah ini adalah sebuah puisi. Puisi yang menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Puisi tersebut ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1973 yang berjudul “Kucing”. Puisi-puisi Tardji beraliran mantra namun begitu sarat dengan kisah-kisah perjalanan hidup sosial maupun spiritual yang semua itu menurut anggapan penulis bermuara pada proses pencarian jati diri penyair. Referensi Bachri, Sutardji Calzoum. 1973. O Amuk Kapak:Tiga Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bachri. Bandung : Sinar Harapan. Ensiklopedi Tokoh Indonesia. 2012. Pembebas Kata dari Belenggu. Tersedia di http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/3623-sutardji-calzoum-bachri Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung : Angkasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun