“Bu…. Serangan lagi. Bu…. Sudah tidur ya… Nggak tahan saya… Abis jambak-jambak kok belum plong.. ya udah kepaksa tangan lagi.”
Sebuah pesan masuk pukul sebelas malam dari salah satu klien saya. Seorang remaja cantik berusia 15 tahun, seminggu yang lalu datang ketempat praktik tanpa ditemani orangtuanya. Ia memang tidak mau kedua orangtuanya sampai tahu. Karena semua yang terjadi adalah murni kesalahannya. “Mama Papa sudah memberikan yang terbaik untuk saya. Mulai dari sekolah, baju, laptop, HP,… banyak bangetlah. Mereka juga sayang banget sama saya. Kalau sampai mereka tahu saya kayak gini, saya merasa berdosa banget.”
Beberapa tahun terakhir, jumlah kasus remaja melukai dirinya sendiri meningkat. Berdasarkan Hasil Riskesdas tahun 2015 diketahui 3,9% dari populasi remaja usia 13 – 17 tahun memiliki perilaku melukai diri atau biasa disebut Self-Harm. Sementara perkiraan WHO, perilaku Self-Harm mencapai 4,3% pada laki-laki dan 3,4% pada perempuan dari total populasi anak usia 13-17 tahun. Data statistik yang pernah diungkap Biro Media BEM Fakultas Psikologi UI 2018 (www.kompasiana.com) bahwa setidaknya 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 7 laki-laki pernah melakukan Self-Harm pada tahun 2016. Melihat presentase kasus yang meningkat, tentunya menjadi kekhawatiran tersendiri terutama bagi orangtua.
Self-Harm atau tindakan melukai diri dalam buku Diagnostik Psikiatri (DSM V) disebut sebagai Nonsuicidal Self-Injury. Tindakan melukai diri ini tidak bertujuan untuk bunuh diri sehingga sebagian besar remaja melakukan dengan harapan dapat mengurangi perasaan negatif yang muncul, atau mengalihkan kesulitan yang dihadapi. Adapun bentuk-bentuk Self-Harm antara lain memotong atau menggores bagian tubuh tertentu, memukul diri sendiri, memukul tembok/ benda keras, membakar bagian tubuh tertentu, mengganggu penyembuhan luka dan mematahkan tulang. Sementara dari meja praktek yang saya temui adalah menyayat tubuh terutama tangan, memukul tembok atau benda keras lainnya, dan mengganggu penyembuhan luka (mengeropek luka yang ada).
Self-Harm memang lebih banyak dilakukan oleh remaja. Kenapa ? Karena masa remaja merupakan masa transisi dari dunia anak untuk memasuki masa dewasa. Perubahan secara fisik dan psikologis yang berimplikasi luas dalam diri maupun dengan lingkungan diluar dirinya. Kuhn (dalam Santrock, 2012) menyebutkan adanya tugas baru terkait kognitif yaitu mengambil keputusan (fungsi eksekutif). Kuhn mengilustrasikan situasi yang dihadapi remaja mengharuskan ia mengambil keputusan untuk dirinya. Remaja harus memilih teman dekat, ketertarikan terhadap lawan jenis, memilih jurusan sekolah dan lain-lain. Sejalan dengan Teori Erickson (Santrock, 2012), memang pada tahap ini muncul pencarian identitas dan peran. Remaja memutuskan akan seperti apa dirinya, bagaimana ia berperan, dan tujuan apa yang ingin dicapainya. Jika remaja tidak mampu menyesuaikan diri atau melakukan coping yang tepat terhadap situasi yang ada maka akan muncul permasalahan atau tekanan dalam dirinya.
Mengapa muncul Self-Harm pada Remaja
Lubis dan Yudhaningrum (2020) menemukan adanya kesepian (Loneliness) dalam diri remaja yang melakukan Self-Harm. Kesepian yang muncul karena adanya hubungan keluarga yang kurang menyenangkan atau kurang harmonis, kurangnya hubungan intim dengan individu lain, dan kurangnya hubungan dengan orang disekitarnya. Muncul perasaan kecewa dengan keluarga, sering diliputi perasaan sedih dan akhirnya memilih menarik diri dari pergaulan sosial.
Sementara berdasarkan klien praktik, adanya komunikasi yang searah (tidak terbuka) antara orangtua dan anak serta pola asuh yang tidak tepat. Anak terbiasa dipenuhi semua kebutuhan tetapi pendapat anak kurang didengarkan. Anak tidak pernah belajar memutuskan untuk dirinya karena pilihan orangtua dianggap yang terbaik. Anak pun tidak terbiasa mengekspresikan dan menyuarakan emosi yang dirasakan. Pengalaman traumatik masa kecil seperti kekerasan fisik dan verbal, perceraian orangtua, pengabaian dalam pengasuhan pun jadi penyumbang alasan remaja melakukan Self-Harm. Santrock (2012) secara khusus menggambarkan konflik remaja dan orangtua sebagai bagian hal yang wajar dalam pengasuhan. Konflik yang muncul biasanya berkaitan dengan kehidupan sehari tentang kebersihan kamar, jam main, capaian akademis.
Penyebab dalam diri remaja sendiri adalah adanya perasaan atau emosi negatif yang sulit untuk mereka ekspresikan dengan berbagai penyebab. Sajogo (2020) dalam sebuah diskusi menyebutkan adanya ketegangan, kemarahan, kecemasan, distress, menghukum diri sendiri, pengalaman di-bully. Beliau juga menemukan Self-Harm sebagai trend dikalangan remaja. Ada beberapa remaja melakukan Self-Harm karena mengikuti tantangan dari media sosial yang mereka ikuti. Hal ini juga cukup berbahaya, karena Self-Harm sebenarnya seperti perilaku adiksi yang bisa memunculkan efek kecanduan.
Bagaimana Mengenali Munculnya Self-Harm
Anak memiliki sifat, kebiasaan dan cara berkomunikasi yang cenderung menetap. Orangtua tentunya memahami ciri khas anak remajanya. Mulailah waspada jika anak berubah kebiasaan. Apakah anak lebih pendiam atau sebaliknya, lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Remaja yang mengalami masalah akan cenderung menghindari kontak sosial dengan orang disekitarnya. Ia bisa memilih banyak berdiam diri di dalam kamar ataupun memilih main di luar rumah untuk menghindari pertanyaan orangtua. Ciri khas yang paling nampak, remaja tiba-tiba senang memakai baju lengan panjang.
Bagaimana Mengatasi dan Mencegah Self-Harm
Sesuai pemaparan diatas, orangtua memiliki peran yang vital dalam mengatasi maupun mencegah terjadinya Self-Harm. Santrock (2012) menyebutkan pengasuhan Otoritatif menjadi kunci mengasuh remaja saat ini. Orangtua mendukung remaja untuk mandiri namun tetap memberikan batasan dan pengawasan. Komunikasi yang memberi dan menerima akan memberikan hasil yang lebih baik. Komunikasi dua arah yang akan memberikan kesempatan remaja untuk mengungkapkan keinginannya. Orangtua mendengarkan sekaligus menjadi teman yang dapat memberikan gambaran perilaku berdasar pengalaman.
Referensi
APA (2013). Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder. Fifth Edition. DSM-5. American Psychiatric Publishing. Washington
Lubis, Irma Rosalinda dan Yudhaningrum, Lupi. 2020. Gambaran Kesepian Pada Remaja Pelaku Self-Harm. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi. Volume 9, Nomor 1. April. Universitas Negeri Jakarta.
Santrock, John W. (2012). Life-Span Development (Terjemahaan). Tiga Aksara. Jakarta.
Sajogo, dr, Ivana. (2020). Self-Harm Sebuah “Trend “ Atau Gangguan Jiwa (Disajikan dalam Webinar RSJ Menur menyambut HKJS 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H