Mohon tunggu...
Yeni Marfuah
Yeni Marfuah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi STAI Al-Anwar Sarang Rembang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rukun Keadilan Menurut Rawls

5 Juli 2024   10:00 Diperbarui: 5 Juli 2024   10:06 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“apa yang pertama kali muncul dalam benak kalian jika melihat pengemis atau pengamen di lampu merah atau di jalanan” pertanyaan tersebut dilontarkan dari salah satu dosen, matkul pkn.

Apakah rasa kasihan sehingga ingin memberi sejumlah uang atau malah enggan memberinya sama sekali dan bergumam lebih baik cari pekerjaan yang lebih baik, dan sikap apa yang paling benar atau yang terlihat adil dari kedua sikap di atas.

sependek pemikiran penulis, apabila di analisis memang rasa manusiawi terkadang muncul jika melihat hal yang seperti itu. Namun apakah sikap seperti itu bisa dikatakan adil?.

hal tersebut mengingatkan penulis kepada arti keadilan menurut kacamata John Rawls. keadilan menurutnya adalah ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kemudian bagaimana kita bisa mencapai keseimbangan tersebut, Rawls memberi catatan bahwa hal tersebut dapat dicapai dengan pemikiran yang rasional, sedang rasionalitas hanya bisa kita lewati dengan ide nalar public, nalar yang tidak bersifat individual terlebih nalar yang tidak berasal dari doktrin komprehensif keagamaan atau doktrin komprehensif sekuler, dengan itu rasa kasihan adalah bagian dari doktrin komprehensif agama.

jika permasalahan tentang memberi atau tidak memberi kepada pengemis maka nalar public yang tidak terpengaruh adalah dengan tidak memberinya, karena hal ini berdasarkan pasal 40 Perda DKI Jakarta 8/2007 yang berbunyi setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil, hal ini bisa berdampak ancaman pidana kurungan sesingkat-singkatnya 10 hari dan paling lama 60 hari atau dengan denda paling sedikit rp100 ribu dan paling banyak rp20 juta (Pasal 61 ayat (1) Perda DKI 8/2007), hal demikian menjadi nalar publik karena merupakan doktrin yang tidak bisa dibantah.

Rawls juga menambahkan bahwa rukun-rukun keadilan itu ada 3 yang berarti keadilan bisa didapatkan dengan memenuhi rukun-rukun Rawls. namun apabila tidak memenuhi salah satunya maka bukan dikatakan tidak adil, akan tetapi belum adil, ketiga itu adalah otonomi, distribusi, responbility. ketiga tadi bisa didefinisikan dengan cara yang mudah seperti halnya analogi berikut, semisal anda diundang dalam rapat desa, di dalam sana anda mendapatkan hak otonomi alias hak bersuara, hak berpendapat, hak berekspresi. namun, saat anda berada di rapat tersebut pendapat atau suara anda tidak didengarkan atau diabaikan berarti rapat tersebut bisa dikatakan belum memenuhi rukun pertama dari keadilan, yang kedua jika pendapat anda tidak terdengar seperti contoh di atas maka cobalah bertahan sedikit setidaknya dalam rapat tersebut anda menunggu untuk diberikan konsumsi entah berupa makanan atau lain hal, konsumsi ini yang dinamakan distribusi, namun jika anda masih tidak mendapatkan distribusi maka rukun-rukun keadilan dalam gelanggang rapat tersebut belum ada. Sedang para intelektual memiliki standart keadilan masing-masing ada yang jika ia tidak diberi hak otonomi ia langsung keluar dari gelanggang rapat, ada yang masih menunggu apakah ia diberi distribusi atau tidak, namun untuk yang ketiga yaitu responbility rukun ini sebaiknya terpenuhi apabila rukun pertama dan kedua terpenuhi juga. semisal contoh yang pernah marak ialah papua yang ingin mendirikan negara sendiri alias keluar dari negara indonesia, jika dianalisis memang mereka adalah korban kepayahan HAM yang ada di indonesia dan korban ketidakadilan. suara mereka tidak terdengar, sekali berpendapat maka saat itu juga gencatan senjata diluncurkan. yang dilakukan oleh elit politik adalah pendekatan dengan militer atau keamanan. pertanyaannya apakah hal tersebut masih relevan untuk melakukan proses perdamaian atau tidakkah cara terbaik yaitu dengan pendekatan dialog seperti halnya yang dilakukan gus Dur pada waktu itu. sayang Gus Dur sudah menemui ajalnya, sedang papua ia menjadi korban pelanggaran HAM. Pray For Papua. Akhir-akhir ini Pemerintahan mulai mengabaikan hak-hak kemanusiaan yang ada di Papua, angka kekerasan melonjak, warga sipil menjadi korban dari bengisnya kaum bersenjata, perdamaian dengan berdialog kini tersendat. All Eyes on Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun