Suar yang geram segera mengambil langkah untuk memperbaiki negeri melalui karya, tanpa fikir panjang ia kembali ke Jakarta menemui sahabatnya untuk menggarap proyek film dokumenter tentang konflik di Desa Utara. Suar, Eli, dan Fajar berdiskusi untuk mengumpulkan data dan saling bertukar ide.
Menyamakan pendapat untuk membela rakyat kecil. Film dokumenter tersebut bukan hanya semata-mata dibuat untuk ditaruh dalam dunia maya, namun nantinya juga akan diikutkan dalam perlombaan film
pendek.
Seminggu kemudian, Suar, Eli, dan Fajar telah bersiap untuk merekam video. Mereka harus multi-tasking karena jumlah personil dan alat seadanya. Mereka menemui narasumber dan melakukan sesi syuting dengan berbagai suka duka. Mereka bertiga sangat yakin bahwa film tersebut akan menyabet gelar juara. Namun sayang, setelah sekian lama film tersebut ternyata gagal. Suar tampak kecewa atas kekalahannya. Film tersebut bahkan tidak masuk kedalam sepuluh besar.
Gadis itu kemudian merenung, pandangannya tertuju pada buku bersampul merah yang sudah lama tidak disentuh. Suar menyebutnya sebagai Obat Kuat. Ia kembali membaca tulisan Juang sebagai kalimat yang mampu menenangkan hatinya. Sekaligus masih bertanya-tanya perihal sosok asli dari Juang. Suar terus berusaha menghibur diri, menebar semangat dan menularkan senyum kepada Eli dan Fajar. Selang kemudian terdapat pesan masuk dari Dude Ginting bahwa ia akan meneliti flora dan fauna di sebuah kawasan cagar alam bernama Hutan Someah dan meminta bantuan Suar untuk mendokumentasikan.
Akhirnya, Suar menyetujui. Di kawasan tersebut, Suar dan Dude terjebak dalam cinta lokasi. Dude memberi perhatian lebih kepada Suar sejak pertama kali tiba di PLTA. Apalagi ketika ia hendak turun dari hutan dan bertemu dengan seekor babi. Dude amat melindungi Suar dengan sekuat tenaga.
Kali ini, film yang dibuat murni bertujuan untuk membantu masyarakat desa, tanpa ada harapan lebih. Pelan namun pasti, film Ekonomi Membunuh Ekosistem yang di publish di dunia maya itu mendapatkan perhatian ribuan orang dalam hitungan hari. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan bagi Suar. Suar dan teman-temannya mendadak terkenal, pro dan kontra pun timbul. Dampak positifnya, pemerintah membekukkan pembangunan pabrik semen dan negatifnya, Suar bersama sahabatnya mendapatkan serangan kalimat kebencian. Hingga menjadikan Suar kembali murung untuk mengejar impiannya menjadi sineas.
Melihat karyanya yang menarik hati masyarakat, Suar mendapatkan kesempatan untuk bertemu Damar Septian, seorang produser terkenal yang tertarik dengan gaya penyutradaraan Suar. Ia kembali diajak untuk menggarap film dokumenter tentang PRB (Partai Rakyat Berdikari). Suar bergidik dan tidak menyangka bahwa dirinya dipercaya sebesar itu. Namun setelah Suar bertemu dengan Dude dan mendapatkan saran bahwa film tersebut menyangkut kepentingan pribadi.
Suar akhirnya menolak penggarapan film tersebut. Kini buku bersampul merah itu kembali di buka oleh Suar setelah jarang dibaca karena kesibukan film keduanya. Selain Suar masih dikejar rasa penasaran dengan pemilik buku tersebut, buku itu yang telah membersamainya untuk mewujudkan impian menuju titik terang, yang menjadi penyemangatnya ketika benar-benar rapuh.
Sampai film terbarunya "Pahlawan Dalam Kesunyian" diangkat ke layar lebar. Suar perlahan berhasil menggapai impian sebagai sineas dan menjelma menjadi apa yang ditekankan dalam catatan Juang.
Sampai pada akhirnya, Dude terkejud melihat buku bersampul merah yang ada dipangkuan Suar. Dibukanya buku tersebut berulang kali. Dude sangat familiar karena buku itu adalah milik sahabatnya yang sudah meninggal. Dude kemudian mengajak suar ke pemakaman. Di sebuah nisan tertulis " Juang Astrajingga bin Tirto Damono".
Dude menceritakan bahwa Juang meninggal saat menjadi relawan di Gunung Sinabung. Suar tak kuasa menahan haru. Suar menyadari sesuatu bahwa sosok Lelaki Jingga yang pernah menjadi bahasan ramai waktu kuliah adalah Juang. Saat sebelum Suar mengembalikan buku tersebut kepada Fatah, adik dari Juang.