Mohon tunggu...
Yeni Fadilla
Yeni Fadilla Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang gadis desa yang gemar menulis cerita dan mengolah kata~~

A mere country gurl who's trying to get her happiness back~~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pagi Itu

23 Agustus 2020   20:55 Diperbarui: 23 Agustus 2020   21:07 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bangun, bangun! Sudah siang. Bukannya kau harus bersekolah?" ujar ibuku, menyuruhku bangun dari tidur lelapku.

Mataku masih terasa berat; nyawaku belum "genap". Namun perlahan kubuka mata kiriku dan samar-samar kulihat jarum jam dinding berada di angka tujuh. Aku tersentak dan terbangun seketika. Tentunya "kembali tidur" menjadi hal yang betul-betul ingin kulakukan di pagi yang dingin itu, namun aku harus bangun. Oh ya, entah mengapa kakiku tiba-tiba terasa membeku. Oh, ada apa gerangan pagi ini? Tak biasanya sedingin ini, tanyaku dalam batinku.

Aku beranjak dari tempat tidurku, berjalan gontai menuju pintu, bersiap mandi mumpung masih pukul tujuh. Kukira hari itu hari biasa, namun tiba-tiba kuteringat sesuatu. "Ya Tuhan, ternyata hari ini ada jadwal ujian jam 8, dan kurasa semalam aku belum belajar; alih-alih aku tengah asyik nonton drama Korea, lalu ketiduran," gerutuku.

Usai mandi, aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sayangnya ada saja aral yang menghadang. Ya, sepeda motor yang biasanya kutumpangi bocor. Bannya bocor. Alhasil, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke sekolah. Untungnya, jaraknya tak begitu jauh dari rumah. Bila harus ditempuh tanpa kendaraan, hanya 15 menit yang kubutuhkan agar sampai ke sekolahku. Masih ada waktu.

Entah kenapa, di pagi yang amat dingin itu, tak kudapati banyak orang ataupun kendaraan yang biasanya sibuk berlalu-lalang. "Apakah aku pergi terlalu awal?" tanyaku penasaran.

Tanpa dinyana, langit tampak amat mendung. Jalanan yang kulewati pun tiba-tiba berkabut, terselimuti embun. Bahkan bisa kulihat butiran-butiran air embun yang melekat di bajuku hingga terlihat seperti butiran salju. "Indah nian," kataku.

Beberapa menit kemudian, akhirnya kutiba di sekolahku, salah satu SMU yang berkategori sekolah favorit di kota kecilku itu. Siswa-siswi hilir mudik menuju kelas masing-masing. Ada pula beberapa dari mereka yang tengah bersantai dan bercengkerama bersama teman-temannya di luar kelas mereka.

Aku berjalan menuju kelasku dan tiba-tiba kulihat Ning Woo, salah satu teman sekelasku, yang tengah sibuk menatap ponselnya. Dia memang gemar surfing di dunia maya, membaca gosip-gosip selebriti, khususnya.

"Hai, Jer," sapaku. Aku kerap memanggilnya Jer, asalnya dari kata "Gerund". Sejarahnya panjang. Tak ada waktu untuk menjelaskan kronologi sejarah nama panggilan ini saat ini.

"Hai Ahjumma," balasnya. Ya, dia suka memanggilku "Ahjumma" sebab aku penggemar drama Korea, begitu pun dia. Ha ha ha.

Sejenak aku berbicang-bincang dengannya. Kutanya dia sedang apa; dia bilang dia sedang membaca sebuah berita terkini mengenai seorang aktris yang mobil mewahnya baru saja terbakar. Dibakar salah satu haters-nya, tepatnya. Benar, kan? Ning Woo memang penggemar berita-berita artis.

Sedetik kemudian, tanpa terduga, angin bertiup sangat kencang; daun-daun pun berguguran. Segala aktivitas terhenti saat itu juga. Tiap mata menatap ke atas, memandangi langit yang tertutup awan yang kian menggelap dan semakin kelabu.Pada detik itu pula, tiba-tiba turun salju.

Semua orang terkesima mendapati fenomena langka itu. "Salju! Salju!" teriak mereka bersukaria. Tiap orang langsung mengeluarkan ponsel dari tas ataupun saku mereka untuk mengabadikan peristiwa itu ke dalam foto dan video. Semuanya tampak bersukacita; hati dibanjiri euforia. 

Bagaimana tidak? Negara yang mereka tinggali ini merupakan negara tropis yang dilewati garis ekuator dan otomatis mustahil salju muncul di sana kecuali di suatu area yang ketinggiannya melebihi 4000 meter dpl, seperti puncak Jayawijaya di Papua, misalnya.

Ning Woo dan aku pun terpesona oleh keindahan salju yang tiba-tiba turun itu. Sama seperti yang lain, momen itu kami abadikan lewat ponsel dan mengunggahnya di social media. Namun, ada suatu hal tersembunyi yang tak kami ketahui. Fenomena itu bukanlah hal yang patut untuk dirayakan. Fenomena itu merupakan suatu pertanda, pertanda munculnya suatu bencana.

Sementara itu, baik berita yang ditanyangkan lewat TV maupun berita yang disiarkan lewat radio menyampaikan imbauan kepada seluruh penduduk seantero negeri agar tetap waspada. Perubahan iklim dan cuaca yang amat signifikan dan ekstrem, termasuk turunnya salju dadakan tersebut menjadi indikasi bahwa bencana besar akan segera melanda. 

Tiba-tiba semua orang dinstruksikan untuk segera dievakuasi. Entah apa yang sesungguhnya terjadi, namun kulihat orang-orang tengah berhamburan, berlarian, mencoba melindungi diri. Tiba-tiba terjadi gempa bumi. Tiba-tiba bangunan runtuh dan banyak orang terlukai. Apakah kehidupan dunia berakhir seperti ini?

Lantas sayup-sayup kudengar suara pintu terbuka dan sebuah suara bertanya, "Yen, kau masih punya kertas minyak?"

Aku pun akhirnya tersadar bahwasanya itu suara ibuku. Perlahan kubuka mata dan kusadari pula bahwa peristiwa yang kudapati tadi sebatas mimpi yang muncul dalam tidurku di malam Sabtu.

By: Yeni Fadillah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun