"Bener juga ya Kak," jawab Diana sambil termenung.
"Jangan-jangan yang naik pohon itu .....," ucap Agin yang tiba-tiba merinding.
Hembusan angin terasa makin dingin. Lantas mereka tersadar bahwasanya tak ada satu pun kendaraan yang mereka jumpai di jalanan yang senyap dan lengang itu, kecuali kendaraan yang mereka tumpangi.
 Beberapa detik kemudian, Diana berujar, "Kak, coba tengok kiri jalan."
"Ada apa di kiri jalan? Jangan nakut-nakutin," kata Agin. Ia tak ingin melihat arah mana pun kecuali jalanan yang ada di hadapannya.
"Coba tengok, Kak," ujar Diana lagi dengan lirih.
Akhirnya, Agin memberanikan diri. Perlahan-lahan ia menengkok ke kiri. Sekumpulan kuburan yang dilihatnya. Ia pun mempercepat laju kendaraan yang dinaikinya.
Satu jam kemudian, yakni setelah Diana memeriksakan putrinya ke dokter dan membeli obat, mereka bertiga harus kembali pulang. Pastinya mereka harus melewati jalanan nan sepi tadi, termasuk melewati kuburan kuno yang sekelilingnya ditumbuhi tanaman bambu yang menjulang tinggi dan membuat bulu kuduk berdiri bilamana angin malam menerpanya, membuatnya bergoyang-goyang dan menimbulkan suara mencekam manakala telinga mendengar.
Meskipun sejatinya merasa takut, mereka berdua tetap melanjutkan perjalanan hingga tiba di rumah. Sesampainya di rumah, Agin serta-merta bertanya pada Liya apakah Liya benar-benar melihat Khanza naik pohon sekitar satu jam sebelumnya.
"Iya, Mbak Khanza memang naik pohon," Liya menjelaskan sembari menunjuk sebuah pohon rambutan di seberang rumahnya.
Agin hanya bergeming dan tak mengucapkan kata-kata. Anggota keluarga Agin yang mendengar perkataan Liya tidak menganggapnya serius. Mereka tidak benar-benar memercayainya. Alih-alih, mereka tertawa mendengarnya. Hanya Agin yang tampaknya percaya akan ucapan Liya. Dia pun akhirnya bertemu Khanza dan menanyainya apakah memang benar dia naik pohon. Khanza berujar bahwasanya ia sebelummya sedang bermain petak umpet; Â ia tak pernah naik pohon.
Semua orang masih memperbincangkan perihal "Khanza naik pohon" dan menganggapnya lelucon. Mereka masih tertawa terbahak-bahak, mengira bahwasanya Liya hanya bercanda. Pada saat yang bersamaan, dengan amarah terpendam Liya menatap mereka semua dan berujar, "Ini semua tidak lucu."
Dalam hatinya pun dia berkata, "Aku tidak bohong. Aku memang melihat Mbak Khanza naik pohon. Tapi dia tidak berwajah."
***