Mohon tunggu...
Yeni Afrilia
Yeni Afrilia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Raden Mas Said

Suka kopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penetapan Perkawinan Beda Agama oleh Pengadilan dalam Perspektif Fiqh Islam dan Undang-Undang Perkawinan

17 Mei 2023   23:25 Diperbarui: 27 Mei 2023   09:01 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul skripsi: 

PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN oleh Cindy Atikah Salsabila Lubis, Fakultas hukum, universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2022. 

Pendahuluan: 

Di Indonesia sebagai negara yang memiliki pluralitas tinggi. Tidak hanya dalam tradisi dan budaya, namun juga pluralitas agama. Di akuinya agama di Indonesia sebagai wujud dari negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia serta toleransi. Beberapa agama yang di akui di Indonesia yaitu, Islam, Kristen protestan, katolik, Hindu, Budha serta Konghuchu.

Menghargai pluralitas di Indonesia memperluas kemungkinan adanya komunikasi serta interaksi antar sesama warganegara. Dari komunikasi itu membentuk suatu hubungan sosial, baik itu berhubungan dengan agama maupun hubungan bermasyarakat. Salah satu hubungan sosial yang terjadi adalah perkawinan. Dan pluralitas itu sendiri lah yang memberikan peluang adanya perkawinan beda agama di Indonesia.  

Pada kenyataannya perkawinan beda agama telah banyak terjadi di Indonesia. Padahal dalam sebuah perkawinan diatur tata cara sesuai dengan agama masing-masing. Terutama pada agama Islam yang hukum-hukumnya termuat dalam Al Qur'an serta Al hadist. Mengenai rukun dan syaratnya diatur dan disepakati sedemikian rupa hingga menjadi ketetapan umat Islam. Sedangkan salah satu syarat calon mempelai dalam Islam adalah sesama beragama Islam. Sehingga pernikahan beda agama mengalami kontroversi di Indonesia. 

Perkawinan beda agama tidak hanya mencuri perhatian dari kalangan tokoh muslim namun juga pihak pengadilan Indonesia. Pasalnya negara Indonesia mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Hukum positif Indonesia berusaha menjadi penengah jika terjadi perkawinan beda agama. Sesuai pada Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada dasarnya perkawinan hanya akan sah jika diatur sesuai dengan hukum pada agama masing-masing. Maka dalam hal ini hakim akan berusaha mempertimbangkan apakah perkawinan ini dapat di lakukan atau tidak. 

Alasan: 

Perkawinan beda agama merupakan suatu hal yang jarang terjadi dan secara jelas di larang oleh setiap agama. Namun pada suatu kasus tertentu perkawinan beda agama di legalkan oleh hakim. 

Dengan alasan itulah penulis mengambil judul skripsi ini untuk menambah wawasan penulis serta pembaca mengenai perkawinan beda agama dari pendapat fiqih Islam serta undang-undang perkawinan (UUP). 

Pembahasan hasil review: 

Dalam hukum positif Indonesia perkawinan beda agama dihubungkan dengan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agamanya masing-masing. Sedangkan perkawinan beda agama hanya dapat dilakukan atas persetujuan hakim pada pengadilan negeri. Maka Kantor Catatan Sipil (KCS) hanya akan mencatatkan perkawinan itu jika telah mendapatkan putusan hakim. 

Perkawinan beda agama dilandasi pada QS. Al-Baqarah ayat 221. Sehingga Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahkan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan NU sepakat berpendapat bahwa perkawinan beda agama hukumnya adalah haram. Walaupun pada QS. Al Maidah ayat 5 menyatakan jika halal untuk menikahi Ahlu kitab (yahudi dan Nasrani). Namun pada kenyataannya, kini golongan yang di anggap Ahlu kitab tetaplah golongan musyrik. Karena dalam penerapan dalam kehidupannya, mereka sudah tidak mencerminkan golongan ahlu kitab. 

Rencana skripsi yang akan di tulis: 

Rencana skripsi yang akan penulis tulis yaitu mengenai fakta bahwa seorang istri lebih cakap dalam mencari nafkah daripada seorang suami. Salah satu faktornya yaitu karena suami terkena suatu penyakit yang menyebabkan berkurangnya kemampuan dalam melakukan sesuatu. Maka seorang istri menggantikan posisi suami dalam mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. 

Saya ingin membahas bagaimana pandangan KHI dalam menanggapi fakta tersebut. Karena pada kenyataannya hak serta kewajiban antara suami dan istri tidak dapat di gugurkan secara sempurna. Bahkan dapat dikatakan terjadi pertukaran peran antara suami dan istri karena suatu alasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun