Mohon tunggu...
Yeni Dewi Siagian Psikolog
Yeni Dewi Siagian Psikolog Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Professional Training Organizer, Human Capital Practitioner, Digital Marketing ,Trainer dan Assessor BNSP Licensed | Coach, Productivity and Women Empowerment Psychologist | Member of APA (American Psychological Association) | WeSing @yenidewisiagianpsikolog | Twitter @yenidewisiagian | FB/IG @yenidewisiagianpsikolog | YouTube @yenidewisiagianpsikologtv | Pernah bekerja sebagai Journalist di Majalah Intisari (KKG) | Business Inquiries Contact 0812-9076-0969 | Founder of www.butterflyconsultindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Career Switch Alias Beralih Profesi, Siapa Takut?

18 Juli 2023   01:41 Diperbarui: 20 Juli 2023   23:59 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  career switch   Weedezign via parapuan.co 

Dokumen : Pribadi
Dokumen : Pribadi
Walaupun track record saya lama berkecimpung di bidang human capital (cek di LinkedIn Butterfly Enterprise), saya mungkin termasuk orang yang sudah beberapa kali beralih profesi (career switch) dalam bekerja, sebelum akhirnya menjadi seorang enterpreneur seperti sekarang ini.

Bukan karena tidak suka dengan bidang human capital, tapi justru saya merasa banyak hal di bidang human capital ini yang bisa didalami lebih lagi, dan juga tentu saja kesempatan yang terbuka di beberapa company baru untuk bergabung dengan profesi di bidang yang lain.

Awal bekerja, setelah lulus S1 daru Fakultas Psikologi UGM dan Profesi Psikolog Universitas Indonesia, saya langsung diterima sebagai Human Capital Manager di salah satu retail optik, anak Perusahaan PT. Djarum, yang bernama ProOptik. Suasana yang menyenangkan dan bos yang selalu tersenyum dan bijaksana membuat saya sangat nyaman bekerja di Perusahaan itu. Namun setelah beberapa bulan bekerja disitu saya mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai training manager di salah satu anak perusahaan konglomerat lainnya yang bernama AIG Lippo. Setelah berpikir sekian lama saya lalu memutuskan untuk bergabung di perusahaan tersebut.

Tidak lama bergabung di perusahaan tersebut, saya pun mengundurkan diri dan bergabung menjadi associate consultant di beberapa Konsultan SDM (Sumber Daya Manusia) yang cukup ternama di Jakarta. Saya cukup menikmati pekerjaan saya sebagai konsultan, sampai saya ditawari untuk bekerja sebagai rekruter di sebuah perusahaan media ternama yaitu Gramedia Majalah.

Sebagai rekruter di grup media terbesar saat itu, banyak pengalaman yang saya dapatkan, termasuk berkenalan dengan dewan redaksi berbagai majalah, editor bahkan saya jadi tahu"aura yang berbeda" di tiap redaksi majalah yang saya datangi.

Kesukaan saya bekerja dengan orang-orang media membuat saya akhirnya bergabung menjadi reporter di salah satu media cetak bernama Majalah Intisari dan mulai belajar untuk membuat artikel dalam deadline yang cukup memadai. 

Disini saya mulai semakin mendalami hidup di dunia media. Bagaimana bersikap sopan kepada narasumber, tapi juga bisa menikmati event yang mereka adakan, sambil tetap membawa identitas positif dari media yang saya wakili, termasuk tidak menerima "suap" dalam bentuk apapun dari narasumber.

Ada hal yang unik disini, saat itu saya diminta untuk mewawancarai artis senior yang sudah terjun ke kegiatan sosial. Supaya tidak telat, saya memilih untuk tidak sarapan. Saya lalu sampai di lokasi bersama rekan saya, seorang kameramen senior. Begitu kami sampai, di meja sang artis sudah ada setampah aneka jajanan pasar (tampah besar untuk menampi beras). Seperti biasa, kami mencicipi hidangan yang tersedia seadanya. Saat kami akan pulang, sang artis menawarkan kami untuk membawa pulang semua kue yang ia sediakan. Rekan saya menolak, tapi si artis tetap menawarkan. Ternyata ia sudah menyiapkan kue sebanyak itu untuk kudapan kami. Dan rekan saya tetap menolak, lalu berpamitan. Di jalan saya tanyakan kenapa tidak dibawa saja kudapannya, rekan saya mengatakan "kita tidak boleh terima apapun dari narasumber." Dari situ saya belajar yang namanya integritas, selapar apapun kondisi saya saat itu.

Selama bekerja sebagai reporter, saya dapat kesempatan meliput peluncuran mobil mewah seri terbaru saat itu, menghadiri undangan peluncuran sinetron yang akan tayang, peluncuran majalah franchise dari luar negeri, dll. Tapi yang sangat menyenangkan buat saya adalah ketika saya bisa meliput pendirian hotel mewah di Bali dan bertemu dengan orang yang sempat jadi orang nomor 1 di Pertamina, mewawancarai orang-orang yang luar biasa saat itu antara lain ibu kembar yang membangun sekolah gratis di bawah jembatan serta yang tidak terlupakan bagi saya adalah wawancara dengan multi talent desainer Harry Darsono.

Kenapa tidak terlupakan? Selain seorang desainer, dia adalah seorang psikolog, desain interior, pemusik dan arsitek untuk "kastil"-nya yang dia bangun di Cilandak (dekat Cilandak Town Square) Jakarta Selatan. Namanya yang besar tidak membuatnya jadi orang yang tinggi hati, tapi beliau malah mengajarkan saya tentang kerendahan hati.

Bagaimana caranya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun