Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. (Book Of Psalm)
Masa kanak-kanak adalah masa yang indah. Masa yang menyenangkan untuk dikenang setelah beranjak dewasa. Namun di beberapa tempat di Indonesia dan dunia ada anak-anak yang menderita karena menghadapi child predator / child molester alias pemangsa anak yang disebut dengan Pedofil.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorders Fifth Edition (DSM-5, 2013) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA), Pedofil (pedophilic disorder) diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk dari Parafilia --- kategori perilaku menyimpang yang ditunjukkan dengan fantasi yang menyimpang, pemaksaan, atau perilaku yang berulang dan membangkitkan gairah seksual.
Supaya bisa didiagnosa secara klinis, pemikiran dan perilaku tersebut harus menimbulkan kesulitan atau masalah interpersonal pada pelaku; atau menimbulkan masalah, kesakitan, atau kematian pada orang yang tidak mau tidak menyetujui perilaku seksual tersebut. Pemikiran atau perilaku ini harus terjadi minimal selama 6 bulan, dan pelaku minimal berusia 16 tahun atau minimal 5 tahun lebih tua dari anak yang menjadi objek fantasi seksualnya. Korban masih belum memasuki usia pubertas.
Meskipun merupakan masalah klinis, dalam terbitan DSM-5 elektroniknya, APA menyatakan kalau Pedofilia merupakan pelaku kriminal dan dapat dikenakan tindakan hokum.
Hal senada juga disampaikan oleh American Psychological Association (APA). Dalam pernyataannya mengenai Pedofilia dan DSM-5 pada Bulan Oktober 2013, Asosiasi Profesi Psikolog dunia ini menyatakan bahwa Pedofilia adalah gangguan mental, dan perilaku seksual antara anak-anak dan orang dewasa adalah tindakan yang salah; serta perilaku apapun yang menjurus ke Pedofilia adalah tindakan kriminal. Sebagaimana diketahui, The American Psychological Association selama bertahun-tahun telah berusaha mencegah pelecehan terhadap anak dan akan terus melakukannya.
Banyak cara yang dilakukan para pedofil ini untuk menjerat mangsanya. Biasanya para pedofil ini tampil sebagai orang yang suka berteman dengan anak-anak, perhatian pada anak-anak dan berusaha menyenangkan hati anak yang menjadi korbannya.
Tidak jarang korban diberikan uang atau permen atau makanan bahkan diajak bermain game bersama, dengan tujuan membangun hubungan yang baik dengan anak tersebut.
Setelah timbul kepercayaan dan kenyamanan anak ketika berinteraksi dengannya, maka predator ini pun mulai melakukan maksudnya tanpa kenal ampun.
Tapi ada juga pedofil yang langung mendatangi anak yang menjadi targetnya. Di salah satu sekolah swasta di Jakarta, seorang anak sekolah dasar didatangi seorang laki-laki dewasa sambil memberitahukan kalau dia diminta ayahnya untuk menjemputnya karena ayahnya kecelakaan.
Beruntung anak ini cukup bijak, dia tinggalkan pria tersebut dan kembali masuk ke halaman sekolah, lalu mengontak keluarganya untuk mengecek keberadaan ayahnya.
Lain halnya dengan kasus yang menimpa salah satu anak di salah satu perumahan di Bekasi. Sewaktu pulang sekolah Taman Kanak-Kanak seorang laki-laki dewasa menjemputnya pulang, dengan lugu anak ini mengikuti ajakan laki-laki tersebut dan dibawa ke suatu tempat untuk direnggut kegadisannya.
Setelah itu si anak dikasi ongkos secukupnya untuk naik kendaraan umum. Karena melihat bajunya yang berantakan dan ekspresi si anak yang kebingungan, akhirnya anak ini bisa dibawa kembali ke rumah orangtuanya. Setelah si anak masuk SD dia baru menyadari kalau dia menjadi korban kejahatan seksual sewaktu TK.

Hal ini membuatnya berontak atas keadaan sehingga menentang orangtua dan figur otoritasnya. Nilai sekolahnya pun jadi tidak optimal karena fokus pikirannya adalah mencari pelaku pedofilia itu dan menjebloskannya ke penjara.
Banyak lagi kasus-kasus Pedofil lain yang menjerat anak di rumahnya, Seperti yang dialami oleh Enjelin di Bali yang diperkosa berkali-kali oleh pembantu laki-laki yang baru bekerja di rumahnya.
Kasus yang paling parah yang saya tangani dalam Program Training yang saya berikan untuk para wanita adalah seorang profesional yang mengaku bahwa ketika usia 2-3 tahun ia diperkosa selama 2 tahun secara bergantian oleh tetangga-tetangganya yang dia panggil "Paman". Ada hampir 20 nama yang ia sebutkan ke saya, yang memperkosanya bergantian setiap hari dalam kurun waktu itu.
Pada anak ini, dia diperkosa secara bergantian selama bertahun-tahun karena ibunya menitipkannya kepada para tetangganya secara bergantian setiap hari.
Ibunya bekerja di 2 tempat setiap hari, untuk menopang ekonomi mereka, karena ayahnya meninggal sewaktu adiknya lahir. Bagi "Para Paman " yang tidak bertanggungjawab ini, ia menjadi "mainan" bagi mereka. Kasus ini baru ketahuan saat ibunya melihat sendiri ketika ia sedang diperkosa oleh salah satu "Paman".
Dalam lingkungan anak jalanan, perilaku pedofilia ini sepertinya sudah menjadi semacam hal yang biasa. Dimana mereka yang baru terjun menjadi anak jalanan akan menjadi mangsa bagi anak jalanan yang lebih senior.
Anak jalanan ini bisa berkali-kali disodomi dan dilecehkan oleh orang yang berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda juga. Seakan-akan perilaku pedofilia ini semacam opspek dari anak jalanan yang lebih 'senior' terhadap anak jalanan yang masih baru, kemudian perilakunya akan diturunkan pada anak jalanan yang baru berikutnya.
Saat melakukan penelitian terhadap beberapa kaum transgender di beberapa belahan Kota Jakarta beberapa tahun yang lalu, ditemukan juga beberapa dari mereka pernah melakukan hubungan seksual dengan anak kecil seusia sekolah dasar. Bagi mereka hal ini merupakan pengalaman yang 'lucu' karena anak kecil terkesan masih 'bersih' dari penyakit dan lugu.
Sungguh miris memang membayangkan anak-anak yang masih polos sudah ternodai karena ulah para pedofil ini. Namun kadang ada juga anak-anak yang memanfaatkan gaya keluguannya untuk menjerat para pedofil melalui pelacuran anak. Mereka berpenampilan seperti orang dewasa dan memancing lawan bicaranya yang notabene orang dewasa, dengan pembicaraan yang menjurus pada keintiman di antara lawan jenis.
Salah satu organisasi HAM di Belanda bernama Terre des Hommes merekayasa figur anak online secara tiga dimensi bernama Sweetie dan menemukan dalam waktu 2.5 bulan, lebih dari 20.000 predator dari 71 negara mendekati Sweetie dan meminta pertunjukan seks lewat webcam sesuai dengan tarif yang diajukan Sweetie. (www.dw.com).
Karena itu setiap orang perlu membentengi diri agar tidak terjerat pada perilaku pedofilia sehingga tidak merasa menyesal di kemudian hari, karena tidak menjaga hati pada anak-anak yang menjerat mereka yang lemah hatinya, melalui pelacuran anak.
Saat ini belum diketahui dengan jelas apa yang menyebabkan seseorang menjadi Pedofilia, tapi diperkirakan perilaku ini timbul karena fantasi seksual yang menyimpang dan rasa ketakutan atau rendah diri ketika berhadapan dengan sesama orang dewasa. Para pelaku memiliki masalah kepribadian dan dia merasa lebih bisa mendominasi ketika berhadapan dengan anak-anak.
Penelitian yang dilakukan Scott (1984) menunjukkan disfungsi cerebral menjadi kontribusi atau faktor yang dominan sehingga menyebabkan seseorang menjadi pedofilia,termasuk masalah pengendalian diri, dorongan pikiran yang ekstrim dan penyimpangan pikiran (cognitive distortions).
Banyak juga peneliti yang percaya kalau pedofil ini disebabkan permasalahan dalam periode kritis masa perkembangan anak (DiChristina, 2009). Dalam beberapa kasus, para pelaku penyiksaan perilaku seks pada anak adalah orang-orang yang mengalami pengalaman traumatis di masa kecil.
Secara spesifik, pedofil adalah orang yang pernah dicabuli di masa kecilnya. Sebagai anak-anak, mereka tidak punya kemampuan untuk mengontrol situasi.
Dengan menyiksa anak secara seksual, pedofil berusaha untuk menang atas trauma yang dialaminya di masa lalu dan mereka belajar untuk menguasainya. Sebuah pembalikan peran yang membuatnya merasa di atas angin dan seakan-akan mencegah mereka menjadi korban di masa lalu.
Secara keseluruhan, disfungsi otak dan pengalaman masa kecil yang traumatis menyebabkan dorongan dan keinginan seksual terhadap anak-anak menjadi tertanam dalam sistem sarafnya.
Apa yang Terjadi Pada Korban?
Sebagian anak yang menjadi korban tidak menyadari kalau perlakuan yang mereka alami dari para pedofil ini adalah perbuatan yang salah atau bertentangan dengan hukum dan norma, sehingga mereka mengalami kemalangan ini selama bertahun-tahun. Apalagi pelaku pedofil ini biasanya adalah orang-orang dekat si anak, misalnya ayah, kakak, paman, guru, keluarga jauh yang tinggal serumah, pengasuh, teman keluarga dan lain-lain.
Ada kasus-kasus dimana si anak korban hamil di usia masih belasan karena dirudapaksa oleh ayahnya yang pedofil sejak masih belum masuk usia pubertas.
Ada juga korban yang setelah dewasa baru menyadari bahwa apa yang mereka alami merupakan kejahatan seksual. Akibatnya mereka jadi cenderung menutup diri terhadap lawan jenis, merasa diri tidak berharga, tidak merawat diri, kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan pada orang lain, takut, malu, minder, membenci diri sendiri bahkan sampai ada yang berusaha bunuh diri.
Beberapa kasus juga menunjukkan mereka yang pernah menjadi korban pedofilia di masa kanak-kanaknya memiliki kecenderungan untuk memiliki penyimpangan perilaku seksual antara lain, mereka yang diperkosa oleh pedofil sejenis akan cenderung menjadi gay atau lesbian.
Ada juga korban yang diperkosa oleh pedofil lawan jenis menjadi pelaku seks bebas atau seks pra nikah, dan ada juga yang kehilangan gairah seksualnya karena trauma pernah menjadi korban pedofil di masa kecil.
Bagaimana Menghindari Pelaku Pedofilia
Menyadari umumnya Pelaku Pedofilia ini adalah orang-orang yang cukup dikenal anak, maka anak perlu diajari tentang perlunya menjaga organ vital tubuh sejak usia dini. Anak perlu diberi batasan kedekatan dengan orang dewasa. Mana daerah yang boleh disentuh atau tidak boleh disentuh, mana daerah yang tidak boleh terlihat dan bisa terlihat.
Anak juga perlu diajari untuk membedakan sentuhan yang benar dan dari orang yang benar. Sentuhan utama sebaiknya hanya dilakukan oleh ibu. Anak perlu mengenal apa yang namanya kehangatan lewat sentuhan yang benar dalam keluarga, sehingga bisa membedakan sentuhan yang membuatnya tidak nyaman bahkan terganggu ketika melakukan kontak dengan orang lain.
Kadang orangtua juga perlu peka kepada orang dewasa yang menunjukkan ketertarikan yang besar untuk bermain dengan anak-anak dan kurang tertarik untuk bergaul dengan sesamanya yang usianya sebaya. Karena bukan hal yang biasa bagi setiap orang untuk bergaul akrab dengan mereka yang jauh di bawah usianya. Meskipun perlu diadakan pengamatan yang lebih intens dalam hal ini.
Orangtua perlu melakukan pengawasan yang kuat terhadap kondisi psikis dan jasmani anak. Dengan memandikan sendiri anak, orang tua akan tahu kalau ada ruam di tubuh anak, atau bagian tubuh anak yang sakit ketika disentuh atau berubah bentuk. Orang tua juga perlu mengajak anak berkomunikasi tentang pengalamannya hari itu di luar rumah atau di dalam rumah.
Orangtua juga perlu peka ketika ada perubahan emosi pada anak. Apakah anak tiba-tiba berubah jadi ketakutan ketika mau sekolah, marah-marah tanpa sebab di rumah, jadi pendiam, atau malah sakit. Ada satu kasus dimana si anak yang bolak balik diperkosa ayahnya menjadi sakit dan meninggal karena tertular penyakit kelamin dari ayahnya yang pedofil.
Orang juga perlu mengecek sosial media anak, aplikasi yang dipakainya, siapa saja teman-temannya dalam dunia maya serta bagaimana cara dia berinteraksi di dunia maya. Kebiasaan anak menggunakan sosial media untuk berkomunikasi dengan teman-temannya juga bisa menjadi bahan mereka yang pedofil untuk menjerat korbannya. Melalui pertemanan di dunia maya, yang berujung pada kopi darat, si pemangsa akan mempergunakan keluguan si anak untuk menuntaskan perilaku maksiatnya.
Anak juga perlu diajar cara berpakaian sopan, tidak menunjukkan paha atau dada serta tidak pernah membuka pakaiannya di depan kamera atas alasan apapun juga. Anak diajarkan tidak mudah terbuai pada pujian, sehingga kalau pun lawan bicara di sosial media memujinya dan memintanya untuk menunjukkan bagian tubuhnya, si anak tidak terpancing.
Kadang ada orangtua yang ceroboh, memfoto anak sedang mandi atau tidak berpakaian dan mempostingnya di sosial media karena menganggapnya lucu, padahal di luar sana ada predator anak yang terstimulasi setiap melihat foto anak yang sedang telanjang.
Anak juga tidak perlu didandani seperti orang dewasa, khususnya anak perempuan misalnya dikasi lipstik, pemerah pipi atau blush on. Karena wajah anak yang polos dan lugu itulah terletak kecantikan alaminya.
Orang tua juga tidak membiarkan anak bertindak genit seperti orang dewasa, cara bicara, cara mengerlingkan mata, dan cara duduk harus tetap sopan sesuai usianya. Mungkin kesannya lucu melihat anak bersikap seperti sudah dewasa, tapi kita tidak tahu siapa yang terstimulasi dengan gayanya yang dibuat-buat itu.
Pedofilia-kah Saya?
Untuk menguji apakah seseorang Pedofilia atau tidak bisa dilakukan dengan mengecek ketertarikan seksual (sexual arousal) seseorang. Di salah satu tempat rehabilitasi adiksi seksual, beberapa pria diberikan Tes Psikologis untuk menguji kecenderungan seksualnya. Tesnya berupa Tes Stimulus Respons.
Pria-pria dewasa ini diberikan foto anak laki-laki berusia 6 tahun dan foto wanita usia 25 tahun yang atraktif, dari hasil penelitian ternyata para pria ini menunjukkan ketertarikannya pada anak usia 5 tahun itu. Padahal normalnya, seorang yang dewasa tertarik pada lawan jenis yang dewasa juga. Jika Anda sudah dewasa tetapi tertarik secara seksual ketika melihat anak di bawah usia 13 tahun atau yang belum pubertas, ada kemungkinan Anda memiliki kecenderungan Pedofilia.
Untuk itu Anda harus berusaha untuk menghilangkan ketertarikan seksual itu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, menyadari kekeliruan, mengikuti setiap sesi konseling, pengendalian diri dan keputusan yang kuat untuk berubah. Sebagaimana kita ketahui, keterbukaan adalah awal pemulihan untuk setiap permasalahan.
Mari kita sama-sama menjagai generasi muda kita supaya terhindar dari para pemangsa anak alias pedofil, sehingga kita tidak kehilangan taruna-taruna muda dan tunas-tunas yang akan menjadi generasi pembangun bangsa kita.
Karena anak tidak mengerti apa arti pemerkosaan, bahwa pemerkosaan adalah salah, dan kalau dia diperkosa itu adalah kemalangan. Itu sebabnya anak diam saja ketika diperkosa berkali-kali, dan hanya mengeluh kalau organ vital atau tubuhnya mengalami kesakitan, seperti yang terjadi banyak kasus anak korban pedofilia.
Ini harus jadi perhatian kita yang utama, terutama kalau kita adalah orangtua atau pengasuh anak tersebut. Jadi kita tidak boleh menyalahkan anak kalau ia menjadi korban pemerkosaan.
Instrospeksi diri Anda atau cek pengasuh anak tersebut jika terjadi kasus pedofilia pada anak yang anda asuh.
Jika anda punya berlian ukuran 0.001 carat atau emas batangan (logam murni) 1 gram, maukah anda menitipkannya bergantian kepada orang lain setiap hari ?
Kalau tidak, kenapa anda biarkan anak anda dititipkan pada orang lain apalagi yang tidak jelas asal usulnya ?
***
Regards,
Yeni Dewi Siagian Psikolog
SAHABAT PSIKOLOG
Phone / Whatsapp : +6285885606309
IG : @sahabatpsikolog
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI