Akh, gadis itu tak ambil peduli. Jantungnya mencengkeram setajam duri.
"Dia harus mati," ucapnya dalam hati.
Perlahan, dia mendekat. Langkahnya merapat menunggu saat yang tepat. Wajah terlelap itu kian terlihat. Sejenak diam dalam gelap, tetapi malang. Lelaki itu terhenyak terperanjat. Gadis berlesung pipit itu tak takut. Meski lelaki berwajah parut itu menatapnya dengan kebencian akut.
Tak ada sapa untuk memulai karena dia bukan lagi gadis yang gemulai. Segalanya telah sampai. Dia tak akan membiarkan lelaki itu sejenak berandai-andai.
Dia berharap malam ini tanpa Tuhan. Agar tak ada dosa Dia ganjarkan. Agar niatnya sempurna menggemakan rajam. Tatkala dia setan, segera acungkan belati berkilau dalam genggaman. Meski lemah, satu sabetan sanggup dia kebaskan. Lelaki itu pun terkapar tak karuan. Nyawanya dirampas dengan beringas.
Di semak liar dia terhempas, lunglai tersengal napas. Menertawai lelaki itu yang kini sekarat nyaris tewas.
Darah merambah, bercecer bersimbah, larutkan semua luka yang membuncah. Satu nyawa telah musnah. Dia tahu dosanya bertambah. Bahh! Pedulikah?
Ayahnya akan bangga. Meski Tuhan murka. Dia tetap berharap tak terima siksa. Belati dalam genggaman kini merah berkilau. Ditatapnya parau dengan mata silau. Sejenak kemudian dibuangnya ke tepian sungai yang dia jangkau. Dia pergi dengan langkah terseok dan pikiran yang kacau.
Gadis yang merapal mantera di pagi buta. Dengan bercak darah di telapak tangannya, dan raut kemenangan di wajahnya, mungkinkah ia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H