Idealisme lain dari seorang Tompi yang juga seorang fotografer, terwakili dalam film ini. Meski lebih dari 90% adegan diambil di dalam ruangan karena terkendala pembatasan sosial selama pandemi, tetapi film ini tidak terasa membosankan. Sejak film dimulai, penonton sudah disajikan dengan tampilan sinematografi yang cantik. Permainan tone warna, tak sekadar hanya memanjakan mata tetapi juga mewakili emosi dalam film ini.
Hal lain yang juga menggelitik dalam film ini, ada banyak kalimat yang dilontarkan dengan liar, terutama saat Ayu sedang beradu mulut dengan Broto. Di awal, mungkin sebagian dari kita akan merasa kaget. Namun, hal itulah yang membuat Selesai terasa natural dan jujur. Faktanya, kalimat seperti itulah yang kerap kita dengar dalam keseharian kita.
Selesai yang Seperti Apa yang Kita Harapkan?
Kembali bicara soal polemik, menurut Tompi, konflik dalam film Selesai sebenarnya belum selesai. Artinya pilihan mau akhirnya seperti apa, sejatinya ada di tangan masing-masing.
Jadi, selesai seperti apa yang Anda inginkan? Mari kita pikirkan!
Ini saatnya, kita tak hanya menjadi penikmat semata. SELESAI mengajak penonton peduli dengan berbagai isu yang tabu dibahas oleh umum. Anggap film ini sebagai media pembelajaran, agar isu serupa tak lagi menjadi hal lumrah yang hanya viral sesaat tetapi tanpa solusi apa-apa. Persis seperti ending di filmnya.
Palembang, 5 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H