Dewasa kini, budaya relasi kuasa seperti budaya patriarkis masih sangat marak terjadi sehingga menjadikan Perempuan rentan mengalami kekerasan, diskriminasi, bahkan sampai kriminalisasi yang tidak berkeadilan. Demikian halnya dengan kekerasan seksual yang juga masih marak terjadi terhadap Perempuan.Â
Disanalah seharusnya hukum, keadilan, dan rasa kemanusiaan hadir untuk saling menolong dan menguatkan korban, terutama dalam hal ini ialah terhadap Perempuan. Akan tetapi, upaya untuk menegakkan hukum dan hak asasi terhadap korban kekerasan seksual pun masih saja disusupi oleh budaya relasi kuasa. Terutama ketika hadirnya Perempuan yang turut membela Perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Secara umum, data kekerasan terhadap perempuan dari Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (BADILAG) mengalami penurunan (55.920 kasus atau sekitar 12%) dibandingkan tahun 2022 yaitu menjadi 401.975 dari 457.895. Tingkat respon pengembalian kuesioner Catahu 12%, terjadi penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2022 sebanyak 25%.Â
Pengembalian kuisioner Catahu 2023 sebanyak 123 dari pengiriman kuisioner sebanyak 993. Keseluruhan data kasus kekerasan terhadap perempuan dari tiga lembaga yang teridentifikasi sebagai kekerasan berbasis gender adalah sebagai berikut: Komnas Perempuan mencatat 3.303 kasus, lembaga layanan melaporkan 6.305 kasus, dan BADILAG mencatat jumlah yang jauh lebih tinggi yaitu 279.503 kasus. (Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023).
Hal tersebutlah yang terjadi di sebuah "kota pelajar" pada pertengahan menuju akhir tahun 2024 ini. Dilansir dari Kompas.com terkait kasus Meila Nurul Fajriah dan beberapa korban dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Berbagai upaya penyalahgunaan hukum dilakukan oleh para tersangka pelaku kekerasa seksual terhadap korban bahkan pembela korban.Â
Egosentrisme yang dibalut dengan istilah "nama baik saya" itulah yang menjadi senjata para tersangka tersebut. Apakah konsep hukum dan keadilan seperti demikian yang diharapkan terhadap Perlindungan Perempuan sebagai kelompok rentan?
Pada tahun 2020 silam, LBH Yogyakarta telah menerima lebih dari 30 aduan mengenai tindakan kekerasan seksual di UII, dengan tersangka yang dilaporkan berinisial IM. IM diduga menggunakan popularitasnya sebagai pendakwah di Yogyakarta dan memanfaatkan hal tersebut untuk mendekati para Perempuan dengan tujuan untuk melancarkan aksi kekerasan seksualnya.Â
Selain itu, IM juga merupakan penerima Beasiswa Australia Awards yang juga sama terkenalnya disana sebagai tersangka pelaku kekerasan seksual.
Meila Nurul Fajriah, seorang advokat dari LBH Yogyakarta mendedikasikan dirinya untuk menjadi pendamping hukum beberapa korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM. Akan tetapi, pada tahun 2020 tersebut pula Meila menerima laporan dugaan pencemaran nama baik dari Polda DIY yang mana laporan tersebut berasal dari IM sebagai tersangka pelaku kekerasan seksual tersebut.Â
Dia dianggap melanggar Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 45 ayat 3 jo. Pasal 27 ayat (3). Hal tersebut dikarenakan, Meila menceritakan kronologi dan menyebut nama tersangka secara gamblang pada konferensi pers pada 4 Mei 2020 di kanal Youtube-nya. Selama hampir empat tahun setelah laporan tersebut dilayangkan, Meila akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DIY pada 24 Juni 2024.
Hal tersebut menuai banyak polemik dari pejuang keadilan terhadap perempuan, akademisi, sampai organisasi-organisasi pegiat HAM. Hal tersebut dikarenakan tindakan IM menjadi preseden buruk terhadap korban kekerasan seksual maupun pejuang keadilan terhadap mereka.Â