Dengan latar belakang dan kultur yang berbeda, percakapan kami menjadi sangat menarik dan penuh informasi. Banyak hal yang baru saya pelajari tentang kebiasaan, tradisi, dan kehidupan di Pondok Pesantren Al-Mizan yang tentu berbeda dengan apa yang kami alami di Kanisius. Salah satunya adalah cara menggunakan sarung.Â
Di Kanisius, tentu tidak ada siswa yang mengenakan sarung, sehingga saat kami berada di Al-Mizan, para santri mengajarkan kami cara memakai sarung. Dari pengalaman saya, saya dapat mengkonfirmasi bahwa sarung mereka sangat ketat, sampai saat mencoba untuk melorotkan, sarung tersebut tidak bergerak. Dengan belajar sesuatu yang sederhana, seperti  cara memakai sarung, saya tergerak untuk belajar lebih banyak mengenai kehidupan santri Al-Mizan.
Selain itu, bagi saya, perbedaan yang paling menonjol adalah budaya dan agama. Di Al-Mizan, mereka sangat menjaga tradisi dan kepercayaan, yang tercermin dalam cara mereka menyapa dan berpakaian.Â
Sementara itu, di Kanisius, hal-hal seperti itu tidak terlalu ketat diterapkan. Perbedaan ini membuat kami, para siswa Kanisius, harus menyesuaikan diri dengan tata cara para santri dan santriwati, serta mulai mengaplikasikannya dalam interaksi kami sehari-hari.
Tentu saja, kebersamaan ini tidak muncul begitu saja. Namun, kebersamaan tersebut tercipta karena dalam segala perbedaan, muncul suatu kesamaan yang mendekatkan kami, yaitu sikap saling menghargai. Siswa Kanisius dan Al-Mizan memperlakukan satu sama lain dengan rasa hormat dan setara, tanpa ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain.Â
Hal tersebut membuat perbedaan seakan tidak ada saat perbincangan antara kedua kelompok siswa. Baik dalam kegiatan kelas, olahraga, maupun bermain musik, perasaan saling menghormati selalu hadir.
Dalam menjalani perjalanan iman tersebut, perbedaan yang menyatukan persatuan serta sikap saling menghormati menjadi jembatan yang menghubungkan kami.
Kata - Kata AkhirÂ
Pengalaman ini menjadi pelajaran baru bagi kami semua, baik bagi Kanisian, maupun teman-teman kami para santri di Al-Mizan. Bagi saya pribadi, kehangatan berinteraksi dengan kelompok sebaya yang berbeda agama dan budaya tidak dapat dirasakan secara nyata dengan hanya dengan membaca atau mendengarkan dari orang lain.Â
Oleh karena itu, bagi para pembaca, saya menyarankan untuk mencoba terjun langsung ke dalam perbedaan dan tidak merasa takut untuk berteman, berinteraksi, dan berkolaborasi dengan kelompok yang dianggap berbeda.Â
Di awal, perbedaan mungkin terasa tidak nyaman bagi sebagian orang, namun dengan sikap yang mengutamakan saling percaya, selalu berpandangan positif, dan rasa saling hormat, perbedaan tersebut tanpa sadar akan menghilang, dan kalian akan dapat merasakan keindahan dari persatuan.