Sekuritisasi adalah suatu proses dimana suatu isu yang sebelumnya hanya dianggap masalah biasa, kemudian diangkat menjadi masalah keamanan yang memerlukan penanganan khusus. Sekuritisasi ini dapat kita lihat langsung contoh nyatanya dalam Konflik Laut China Selatan. Laut China Selatan adalah salah satu wilayah yang paling strategis di dunia.Â
Wilayah ini memiliki potensi SDA yang melimpah, seperti minyak dan gas bumi, perikanan, dan mineral. Bahkan, diperkirakan terdapat cadangan minyak dan gas bumi yang besar, yaitu sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam. Selain itu, Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran yang penting bagi perdagangan global yang menunjukkan potensi Laut China Selatan memang sangat berdampak bagi negara-negara di dunia. Hal ini menjadi dasar permasalahan di Laut China Selatan terjadi.Â
Konflik Laut China Selatan adalah konflik maritim yang melibatkan enam negara, yaitu China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Keenam negara tersebut memiliki perbedaan klaim kedaulatan atas wilayah Laut China Selatan. China mengklaim 95% wilayah pulau-pulau kecil dan menggerakkan kemampuan militernya  membangun 1300 hektar infrastruktur untuk memperkuat pertahanan militer di kawasan Laut China Selatan. Argumentasi China melakukan ini berdasarkan latar belakang sejarah (background history) dan menolak kesepakatan hukum Laut UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea). Semua usaha China tersebut dipetakan berdasarkan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.Â
UNCLOS yang telah disepakati oleh 100 negara (termasuk Indonesia) ditolak mentah-mentah oleh China. Banyak batas wilayah negara terancam, termasuk pulau-pulau di perairan Natuna milik Indonesia yang beririsan dengan nine-dash line milik China. Konflik ini pasti meningkatkan dan ketidakpastian di kawasan Asia Tenggara yang menghambat kerja sama regional dan dapat meningkatkan risiko konflik, seperti mengganggu jalur pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut.
Semenjak China memasukkan wilayah Natuna ke dalam peta Nine-Dash Line, maka otomatis Indonesia terlibat dalam konflik Laut China Selatan. Kepentingan utama Indonesia dalam konflik tersebut adalah hak yurisdiksi atas perairan Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen di Laut Utara Kepulauan Natuna yang beririsan dengan klaim nine-dash line China.Â
Banyak nelayan China yang mulai memasuki wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan illegal fishing. Apalagi klaim China sudah menyentuh dalam bentuk china's traditional fishing ground yang menyentuh ZEE Indonesia di Laut Utara Natuna. Bagi Indonesia, Laut China Selatan juga termasuk Sea Lines of Trade (SLOT) karena merupakan jalur utama yang menghubungkan ekonomi dunia dari Timur ke Barat atau sebaliknya sehingga Indonesia akan terdampak signifikan apabila konflik tersebut menutup akses Indonesia terhadap LCS.Â
Selain itu, Indonesia akan menghadapai ancaman lainnya berupa ancaman keamanan tradisional dan ancaman keamanan non-tradisional. Ancaman tradisional dapat berupa great power rivalry (perang terbuka antara China dengan Amerika Serikat) yang dapat terjadi di wilayah perairan maritim Indonesia, sehingga dapat menyeret Indonesia. Dari segi ancaman keamanan non-tradisional dapat berupa ancaman human security, seperti isu-isu terorisme, perompakan, kriminal transnasional, dan lain-lain.Â
Ancaman tradisional maupun non-tradisional merupakan tantangan bagi keamanan maritim Indonesia yang dipengaruhi oleh geopolitik Indonesia yang strategis. Tantangan tersebut berupa ancaman kekerasan, pembajakan sumber daya laut, pencemaran dan pengrusakan ekosistem laut, pelanggaran hukum, dan penyelundupan.Â
Melihat permasalahan diatas, Pemerintah Indonesia saat ini mendorong transformasi kemaritiman laut Indonesia melaui konsep Global Maritime Fulcrum (Poros Maritim Dunia). Namun, Implementasi kebijakan PMD oleh Presiden Joko Widodo menimbulkan reaksi negatif dan menentang inisiatif yang diambil pemerintah tersebut.Â
Hal ini dikarenakan visi PMD yang lebih memanfaatkan potensi maritim untuk ekonomi dan pemerataan pembangunan nasional. Dengan demikian, PMD lebih condong ke isu ekonomi daripada isi keamanan tradisional.
Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan 2 (dua) hal untuk mengatasi konflik ini. Pertama, Indonesia perlu meningkatkan kekuatan pertahanannya untuk keamanan dan kestabilan wilayah Laut Utara Natuna, maka diperlukan peremajaan Alutsista TNI AL yang lebih modern sehingga Kapal Perang Republik Indonesia lebih baik karena didukung oleh ABK yang masih berusia muda serta mptivasi yang sangat tinggi.Â
Kedua, selain penguatan militer, pendekatan diplomasi dengan negara-negara ASEAN juga sangat penting dalam mengatasi konflik ini. Pendekatan ini dapat menjadi strategi untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara. Dalam menghadapi China, diharapkan ASEAN dapat bersatu untuk mencapai keputusan bersama sehingga memudahkan proses negosiasi.Â
Pada tahun 1992, ASEAN sebenarnya sudah pernah mengeluarkan ASEAN Decleration on the South China Sea yang bertujuan perlunya penyelesaian damai, kerja sama dalam navigasi dan perlindungan lingkungan laut.Â
Selama bertahun-tahun, Indonesia menjadi kekuatan kunci dalam menangani konflik di Laut China Selatan yang melibatkan anggota ASEAN. Meskipun demikian, konflik LCS belum terselesaikan sepenuhnya. Konflik LCS masih memiliki potensi menimbulkan ancaman di kawasan, terutama keinginan Amerika Serikat untuk kebebasan berlayar di area tersebut. Bagaimana pun juga, Indonesia mengharapkan agar konflik ini dapat teratasi dengan baik. Negara-negara yang terlibat bisa mendapatkan hak kedaulatannya masing-masing sesuai dengan ketentuan yang ada, tanpa ada perang bersenjata, sehingga tercipta perdamaian dunia. P
Perdamaian sejati bukan sekadar tidak adanya ketegangan, namun adanya keadilan - Martin Luther King Jr.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI