Mohon tunggu...
Yegi Mahendra
Yegi Mahendra Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar yang berusaha menebar kebaikan

Pelajar yang berusaha menebar kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kembali ke Persatuan Indonesia

23 Mei 2019   17:44 Diperbarui: 23 Mei 2019   18:05 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendukung itu boleh, tapi jangan sampai kita menempatkan diri pada satu pandangan yang membuat kita tak lagi bisa menerima setiap pandangan lain yang berbeda, karena hal itu memperlihatkan kita sebagai manusia yang bersikap subjektif, sehingga sikap subjekif itu menjerumuskan kita pada kefanatikan.Kefanatikan terlihat, ketika di setiap forum kita merasa tak suka dengan orang yang berbeda pandangan dengan diri pribadi dan pandangan itu kita pertahankan mati-matian. Kefanatikan melahirkan intoleransi sehingga menimbulkan chaos yang tak diinginkan terjadi.

Setiap warga negara pastilah menginginkan kedamaian, ketentraman, keamanan dan kenyamanan di dalam negara yang mereka tempati. Maka agak mengherankan, apabila ada warga negara menginginkan hal itu sirna dari negara mereka sendiri.

Hal ini memiliki kemungkinan terdapat kepentingan pribadi, maka perlu adanya sikap kritis dalam memandang setiap perkara yang terjadi.

Polarisasi atau terpecahnya Indonesia menjadi kubu yang bersebarangan saat ini tercipta oleh kefanatikan itu, sudah dijelaskan secara mendetail dalam al-Qur'an bahwa sikap berlebihan dalam suatu hal itu buruk.

Bila memang kubu ini berlaku curang, Tuhan dengan gelar Maha Mengetahui dan Maha Adil-Nya pasti akan bertindak. Begitu pula kubu yang satunya, bila memang kubu ini berusaha untuk berbuat kebaikan dalam negeri, tak perlu kiranya pengakuan jabatan dulu baru bisa berbuat baik.

Bukankah hanya dengan senyuman saja kita sudah dianggap bersedekah, berbagi kebaikan?

Ketika terdengar kabar ada beberapa orang yang tewas dalam aksi yang terjadi di Jakarta,  Rabu (21/5). Dari sini, siapa yang harus kita salahkan? Polisi yang bertindak? Pemerintah yang otoriter? Atau malah kubu yang merasa dicurangi?

Maka dari sini perlu kita renungkan kembali, bahwa setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda. Seperti kata pepatah "rambut sama hitam, tapi akal hanya Tuhan dan dirinya yang tahu".

Pun hal itu berlaku pula dalam kaitannya dengan kebenaran, tak ada manusia paling benar di muka bumi ini sehingga agaknya kurang benar bila ada sebagian orang yang menyalahkan orang lain.

Kalaupun salah, Tuhan mengajarkan kita untuk menasihati secara lembut dan santun, malah banyak kisah menceritakan bahwa ketika menasihati seseorang juga lebih baik ketika tidak ada orang lain di sekitarnya dengan harapan tak ada ketersinggungan yang terjadi.

Dalam konteks ini, Kita yang mengaku orang beragama kurang baik kiranya bila memosisikan diri sebagai orang yang tak mempunyai agama.

Mungkin agak masuk akal apabila orang atheis bertindak semacam itu --dalam hal ini fanatik--, namun kebanyakan atheis pun sebenarnya mencerminkan diri sebagai orang yang memiliki agama. Sebab, sebagian dari mereka beranggapan bahwa perbuatan seperti itu adalah perbuatan yang kurang masuk di akal.

Coba kita bayangkan, bila kita menyikapi semua perkara secara objektif, kita akan memiliki beberapa sudut pandang yang memudahkan kita pertimbangkan dalam mengambil sebuah keputusan. Berusaha berpandangan objektif pun kadang masih salah dalam mengambil keputusan, apalagi ketika kita hanya menempatkan diri pada satu pandangan.

Apalagi aksi 'itu' bertepatan pada bulan suci ramadhan, sehingga sudah sepatutnya puasa itu membuat kita lebih baik lagi dalam menyikap setiap urusan.

Agak kurang baik kiranya bila seseorang memahami puasa hanya sebatas menahan makan dan minum, sebab puasa pun memberikan kita pelajaran agar dapat menahan diri dari segala hawa nafsu, seperti nafsu untuk marah dan perasaan negatif lainnya yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari.

Penulis di sini berusaha untuk tidak bermaksud menyudutkan apalagi menghina ras, agama, ataupun kelompok. Tulisan ini tak lain dari tujuannya yaitu untuk membuat kita merenungi kembali kondisi negara kita saat ini.

Dengan demikian, penulis pula mengajak seluruh masyarakat khususnya para pembaca yang budiman untuk mari bersatu dan tak lagi memperkeruh kondisi yang saat ini sedang terjadi. Marilah kita bergandengan tangan, lupakan angka, abjad dan apapun itu yang menjadi pemisah diantara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun