Sebagai negara berkembang Indonesia memerlukan adanya modal atau investasi yang besar untuk membangun. Kegiatan untuk memperoleh modal ini dapat dilakukan dengan memberdayakan sumber daya alam yang telah ada.Â
Salah satunya adalah melalui ekspor komoditas kelapa sawit atau yang sering disebut dengan Crude Palm Oil (CPO).Indonesia dapat melakukan melalui kegiatan perdagangan internasional dengan beberapa negara.Â
Salah satu wadah yang paling tepat untuk menampung semua pembicaraan mengenai perdagangan internasional adalah General Agreement on Tarrif and Trande (GATT)/World Trade Organization (WTO).
Tujuan WTO yang pada pokoknya juga merupakan tujuan GATT seperti termuat dalam Annex 1a adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full employment), memperluas produksi dan perdagangan serta memanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.
Terdapat permasalahan yang kerap terjadi dalam forum perdagangan dunia yaitu terjadinya ketidakpatuhan negara-negara anggota terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam (GATT/WTO).
Salah satunya yang terjadi adalah kebijakan Amerika Serikat melalui regulasi teknis mereka Energy Independence and Security Act of 2007 mengeluarkan notifikasi atas CPO Indonesia yang dinyatakan sebagai renewable fuel yang tidak bisa mengurangi gas emisi rumah kaca sesuai standar mereka. Indonesia menganggap ini sebagai tindakan hambatan teknis dan mendiskriminasi antara produk CPO Indonesia dengan minyak kedelai mereka.
Sebuah tambahan informasi, ekspor minyak kelapa sawit (crude pam oil/ CPO) Indonesia meningkat 8 persen pada tahun 2018. Adapun pada tahun 2017, ekspor CPO tercatat sebanyak 32,18 juta ton dan meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018.
Sebagai catatan, produk minyak mentah kelapa sawit Indonesia dikenakan tarif bea masuk di sejumlah negara seperti di China, India dan Pakistan. Sedangkan di pasar Amerika Serikat dan Australia, produk CPO Indonesia dikenakan hambatan non tarif karena dinilai sebagai produk yang tidak sehat dan tidak ramah lingkungan. Sementara di dalam negeri, para produsen kelapa sawit juga harus dipusingkan dengan pengenaan bea keluar untuk kelapa sawit dan produk turunannya yang diberlakukan secara progresif yang berkisar antara 7,5% hingga 22,5%.
Lalu bagaimana kebijakan Environment Protection Agency (EPA) Amerika Serikat yang menetapkan CPO Indonesia sebagai produk tidak ramah lingkungan?
Terdapat beberapa kriteria dalam menentukan apakah Amerika Serikat melanggar Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement terutama pelanggaran prinsip non diskriminasi dalam Pasal 2.1. seperti dalam kasus European Communities (EC)-Trademarks and Geographical Indications (Australia) yaitu : Â
1. Kebijakan tersebut merupakan suatu regulasi teknis.
2. Bahwa yang menjadi sengketa antara produk impor dengan produk dometik merupakan like product.
3. Bahwa produk impor diperlakukan kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang sejenis.
Notice of Data Availability (NODA) yang dikeluarkan oleh EPA Amerika Serikat, disebutkan di dalam latar belakangnya bahwa penaksiran terhadap emsii gas rumah kaca dibutuhkan untuk menentukan bahan bakar mana yang bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Amerika Serikat melalui Energy Independence and Security Act of 2007.