Mohon tunggu...
Y-D. Anugrahbayu
Y-D. Anugrahbayu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Halaman ini berisi tulisan-tulisan iseng yang pernah saya buat. :)\r\nDijamin berat :p

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Passion

1 Februari 2015   19:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Zaman yang kian ramai dan membingungkan ini telah mengakibatkan kekacauan dan pendangkalan beberapa istilah. Passion adalah salah satu istilah itu. Para remaja di bangku SMA bingung memilih jurusan. Setelah lulus SMA bingung lagi mau kuliah jurusan apa (bagi yang punya kesempatan kuliah). Lantas setelah jadi sarjana bingung lagi mau bekerja apa. Di tengah keramaian, kebingungan, dan kekacauan itu, istilah passion menyeruak bak penyelamat. Belajar harus sesuai passion. Bekerja harus sesuai passion. Apa-apa harus sesuai passion. Kian lama saya khawatir kalau-kalau makan atau merokok pun harus sesuai passion.

Dalam hati saya sering risih mendengar kata itu. Apalagi ada yang menuntut supaya mengucapkannya dengan cara “sampai ludah hampir keluar”. Saya harus menjelaskan mengapa saya risih. Pertama, orang yang mengucapkannya belum tentu mengerti betul apa yang dimaksud dengan passion. Karena itu, kedua, istilah passion menjadi begitu murahan dan pasaran sehingga kehilangan kedalamannya padahal sesungguhnya, ketiga, menemukan passion tidak semudah mengucapkannya, bahkan dengan cara sampai ludah hampir keluar sekalipun.

Rasa risih itulah yang membuat saya ber-passion (karena banyak orang menggunakan kata ini secara sewenang-wenang, izinkan saya sekali ini saja menggunakannya secara sewenang-wenang pula) untuk menuliskan catatan ini. Mari mulai dengan mengurai benang kusut si passion. Pengamatan atas percakapan sehari-hari akan memperlihatkan tiga makna passion berikut ini.

Pertama, hobi. Kalau orang suka atau senang berkebun, misalnya, akan disebut memiliki passion terhadap tanaman atau kelestarian lingkungan atau apa saja yang berkaitan dengan kegiatan berkebun. Di situ passion identik dengan kesenangan atau hobi. Apa saja yang membuat senang dianggap sebagai passion. Kalau demikian halnya, merokok pun bisa menjadi passion. Tetapi pengertian kita berontak: bukan, bukan! Passion bukan hobi! Baiklah, mari melangkah ke makna yang kedua.

Kedua, minat yang berkelindan dengan bakat. Orang berbakat musik, misalnya, akan disebut memiliki passion terhadap musik. Karena berbakat, orang lantas mengembangkannya. Pengembangan lebih lanjut membuat kadar passion kian pekat. Semakin tekun berlatih, semakin mahir, apalagi ditambah dengan sukses dan terkenal dan bergelimang harta, semakin yakinlah kita bahwa ia memang memiliki passion terhadap musik. Beberapa orang puas dengan pengertian passion sebagai minat-bakat ini. Tetapi mari melihat makna yang ketiga.

Ketiga, semangat dalam bekerja. Pokok ini terkait erat dengan pokok kedua di atas. Karena sesuai dengan bidang, maka orang semangat bekerja. Kiranya semakin banyak orang yang puas dengan pengertian passion sebagai semangat ini. Apalagi sekarang meneriakkan “Semangat!” dengan berbagai macam jenisnya (cemungud, dan sebagainya dan seterusnya) memang sedang banyak digemari.

Ketiga makna itu menyiratkan satu hal: manusia secara aktif mengejar atau mewujudkan sesuatuatas dasarsuka, senang, minat, bakat, semangat, dan semacamnya. Itu tak perlu disangkal. Ketiganya sampai batas tertentu cukup memberi gambaran tentang passion. Akan tetapi, ketiga makna itu hanya menonjolkan salah satu dimensi dari passion, yakni dimensi aktif. Dan sayangnya, sisi aktif yang terlalu ditonjolkan, diagung-agungkan, bahkan dipuja sebagai panutan itu cenderung mengabaikan dimensi passion yang lain: dimensi pasif. Dimensi inilah yang hendak saya bela.Passion bukan pertama-tama perkara aku hobi apa, aku suka apa, aku punya bakat apa, aku semangat kalau mengerjakan apa, aku, aku, aku, dan aku. Bukan. Passion bukan pertama-tama soal “aku”, melainkan justru mulai dari apa yang “bukan-aku,” dan bahkan justru mendengarkan dengan seksama suara dari “yang-lebih-besar-dari-aku”.

Dimensi pasif itu sesungguhnya sudah mulai tampak dalam ketiga makna passion di atas. Ketika Paijo memiliki minat musik, misalnya, kita dapat meninjau manakah yang sedang terjadi: Paijo meminati musik atau Paijo diminati oleh musik? Sesuatu dalam pengertian kita lagi-lagi berontak: “Mana mungkin musik, tanaman, atau apa saja meminati manusia? Bukankah semua itu benda mati? Jadi jelas Paijo yang meminati musik!” Perlu telaah fenomenologis dan strukturalis / post-strukturalis untuk menangkis pendapat itu. Tak perlulah kita memasuki seluk-beluk aliran-aliran filsafat yang njelimet itu. Sebagai gantinya, mari kita simak kisah berikut ini, sebuah kisah yang berasal dari masa silam yang sudah sering kita anggap kadaluwarsa, namun sesungguhnya justru melukiskan makna passion yang sejati.

Ketika sekelompok pemuda “Indonesia” berkumpul pada tahun 1926 dan 1928, mereka barangkali belum mengenal passion seperti kita sekarang. Tetapi kiranya tak ada yang meragukan passion mereka. Mereka datang dari latar-belakang yang beragam, namun akhirnya rela meninggalkan keragaman itu untuk bersatu sebagai “satu bangsa, satu tanah-air, satu bahasa”. Bahkan para pemuda Jawa yang terkenal fanatik dengan bahasa adiluhung-nya itu rela menisbikan bahasa Jawa terhadap bahasa Melayu / Indonesia modern. Demikianlah para pemuda meninggalkan Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes dan sebagainya, untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Kita patut heran dengan kenyataan itu. Apa yang mendasari persatuan itu? Negara Indonesia jelas belum ada (Sumpah Pemuda terjadi tujuh belas tahun sebelum kemerdekaan). Jadi kita belum bisa mengatakan bahwa para pemuda itu meminati Negara Indonesia. Belum. Di Indonesia, persatuan mendahului kemerdekaan. Dan tentu saja naiflah menganggap persatuan itu sebagai semacam wangsit yang jatuh dari langit. Sulit memungkiri kenyataan bahwa gagasan persatuan kala itu adalah tanggapanatas penindasan kolonial. Tetapi tentu terlalu miskin pula kalau kita mengatakan bahwa persatuan itu tak lebih dari sekadar hasrat buta untuk melawan penjajah. Ketika Muhammad Yamin mengaitkan gagasan persatuan itu dengan Sumpah Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada, tak satupun orang yang menyangkal kebenaran itu. Baru sekarang kita bisa mengatakan bahwa gagasan itu berlebihan. Bagi Yamin dan kawan-kawannya kala itu, persatuan bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan apakah benar atau tidak, apakah sungguh ada atau tidak. Kebenaran pengalaman bersatu tidak terletak pada gagasannya, melainkan pada keberadaannya (die Wahrheit des Daseins). Mereka mendapati diribersatu tanpa mengetahui apakah persatuan itu sungguh ada atau tidak. Dan gagasan persatuan itu terbukti begitu kokoh. Revolusi fisik yang melahirkan kemerdekaan adalah buktinya.

Dalam kisah-kisah seperti itu tampak bagaimana passion secara hakiki adalah tanggapan. Keadaan, dunia “memanggil” manusia untuk tanggap. Dan sikap batin manusia yang bisa tanggap tidak bisa lain kecuali pasif. Manusia yang selalu aktif ke sana ke mari tak mungkin memiliki sikap tanggap. Pasif di sini bukan berarti sekadar pasrah-pasrah saja, melainkan pasif-mendengarkan, membiarkan dunia sekitar menyentuh seluruh diri kita. Hanya dengan cara itu passion yang sejati dapat sungguh-sungguh muncul sebagai kekuatan yang tiada habis-habisnya, bahkan ketika kita dihadapkan pada penderitaan sekalipun.

Sikap pasif-mendengarkan. Kejernihan pandangan. Kepekaan terhadap dunia sekitar. Itulah keutamaan-keutamaan yang memudar di zaman yang serba aktif ini. Budaya “komentar”, hujat sana-sini dan sebagainya kiranya cukup untuk melukiskan kemunduran itu. Secara paradoksikal, apa yang sering kita yakini sebagai passion ternyata justru rapuh. Kita cepat bosan. Kita tak punya daya tahan. Di situ tampak bagaimana passion yang muncul dari dimensi aktif (suka, minat) biasanya memang tak tahan uji. Sebaliknya, passion yang muncul dari dimensi pasif (keprihatinan, keterlibatan langsung dalam suatu masalah) tentulah tak lekang ditelan zaman.

Agaknya kita perlu mengurangi (bukan meniadakan) pencarian passion dari dimensi aktif, dan mulai lagi mencarinya dari dimensi pasif. Kurangilah bertanya “Aku berminat apa?” dan mulai melihat dunia sekitar kemudian bertanya, “Di tengah dunia seperti ini, apakah keprihatinanku?” Di situlah passion akan mulai menampakkan diri.

Tetapi, jangan-jangan kita tak punya keprihatinan lagi?

Sindhunata, “Demitologisasi Persatuan Nasional,” dalam J. B. Kristanto (penyunting), 1000 Tahun Nusantara (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2000).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun