Sekitar tahun 2009, seorang kawan mengajak saya makan di sebuah restoran di Batang, Jateng. Jika ditelusur, pengetahuan dan jelajah kuliner saya waktu itu, sangatlah terbatas. Maka, ajakan kawan saya itu langsung saya iyakan, tanpa ragu atau malu. Hitung-hitung sebagai pembukaan atau icip-icip wisata kuliner yang sesungguhnya.
Masuklah di restoran, memilih tempat duduk yang ternyaman, lalu memesan makanan. Kawan saya, yang mungkin melihat kepolosan saya, segera membantu-memilihkan menu makan. "Sudah ini saja, mas," katanya. Saya mengangguk tanpa membantah. Sambil menunggu makanan datang, kami ngobrol ngalor ngidul.
Nah, tibalah saatnya sang pramusaji datang dengan membawa nampan yang masih penuh dengan asap mengepul. Wooow... hebat sekali. "Lho, bukannya ini sayur kangkung! Kata saya sambil melotot.
Kawan saya mengangguk sambil tersenyum; "Ini namanya Kangkung Hot Plate!" Saya tersenyum kecut. Ya ampun, kangkung dihidangkan panas saja bisa jadi mahal ya. Padahal di kampung, kangkung yang berlimpah, malah jadinya dianggap biasa saja.Â
"Woow... !" Mulut saya pun mangap sambil nyicip kangkung yang masih mengepul itu. Kawan saya melihat dengan puas, "Enak kan, mas?"
"Hmm... maknyooosss...!" (=puanass).
Begitulah, hari itu saya dihajar oleh kangkung hot plate, sayuran yang dihidangkan dalam keadaan panas, benar-benar panas. Dan, ternyata hot plate-nya masih terasa panas, sampai sekarang.
Depok, Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H