Di barber shop, yang bukan langganan, ada dua anak sedang mengantri temannya bercukur rambut. Sudah hampir selesai. Hasil akhir potongan rambut pun sudah kelihatan. Mirip-mirip gaya rambut Justin Bieber saat awal-awal berkarir. Meski, saya membatin, gaya rambut yang aneh: pendek, tapi terkesan kurang rapi.
Saya pun sabar mengantri. Dua anak lelaki saya paling antusias kalau bercukur rambut. Maka, sambil menanti giliran, mereka makan roti (yang dibeli) dari swalayan di sebelah barber shop.
Ini tanggal terakhir di bulan April. Dua hari lagi masuk sekolah. Si Sulung, kelas 2 SD, paling tidak betah jika rambutnya tak rapi. Maka, mumpung hari masih sepi, maka pagi inilah waktu yang tepat untuk merapikan rambut. Sementara adiknya (3 tahun), sebenarnya hanya senang saat ikut berkeliling, bersama-sama. Ia sendiri yang memilih duduk di depan, di kursi tambahan yang dibeli di toko online dua bulan yang lalu. Tapi, ia pun senang bercukur. Jika anak-anak seusianya rewel dan berontak saat didudukkan di kursi, maka ia dengan tenangnya menikmati deru mesin pencukur dan gemeretak gunting yang beradu.
Singkat cerita, dua-duanya selesai bercukur rambut. Sementara itu, saya urungkan niat untuk ikut bercukur di situ. Rasa-rasanya kurang sreg. Caranya mencukur terkesan terburu-buru, bukan cekatan tetapi asal cepat saja. Saya berbisik ke istri: Aku cukur nanti sore saja.
**
Sore harinya, kembali kami berempat meluncur ke barber shop langganan. Kali ini, misinya hanya saya yang bercukur. Untunglah tidak mengantri. Sat set, segera terlayani. Tapi, si bapak pencukur rambut rupanya juga berbeda dari biasanya. Sedikit ragu, tapi mau bagaimana lagi. Saya putuskan tetap bercukur.
Rasanya cukup lega, saat melihat caranya mencukur cukup profesional, sesuai urutan yang selazimnya. Pun tidak terburu-buru, tetapi tetap terukur.
Benar saja, hasilnya tidak mengecewakan. Saya puas. Lalu saya berbisik ke istri: Kayaknya rambut adik perlu diperbaiki dech. Ibunya anak-anak mengangguk.
Maka, jadilah si adik kembali dicukur, dirapikan kembali. Sang pencukur pun geleng-geleng kepala melihat hasil cukuran adik yang pertama.
"Memang tadi cukur di mana, pak?" tanyanya.
Saya jawab, "Itu tadi di jalan pahlawan!"
Si bapak ikut gemas rupanya. "Sekarang, ada orang yang punya modal, buka usaha "barber shop". Padahal, pegawainya kurang skill-nya."
Ada benarnya kata si bapak. Terbayang tadi pagi, cara mencukurnya pun seperti tak lazim, asal cepat selesai saja. "Oh gitu ya pak. Mencukur rambut kesannya gampang ya pak. Padahal perlu keahlian dan keterampilan khusus." Saya sependapat.
Masih ingat dalam benak, saat Pak Jokowi bercukur pun tak sembarangan memilih "tukang cukur". Kebayang bukan, jika tukang cukur presiden adalah orang-orang dengan keterampilan (mencukur yang) minim, maka bisa-bisa akan jadi lelucon di seluruh pelosok negeri. Reputasi sebagai "tukang cukur" sungguh-sungguh dipertaruhkan.
Nah, akhirnya si adik selesai bercukur. Ia kelihatan hepi. Saya pun hepi. Baru ini, adik bercukur dua kali dalam sehari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H