Kultur layanan perbankan berubah. Pola komunikasi pegawai bank pun bertransformasi menjadi lebih ramah, humanis, dan bahkan disederhanakan. Bahkan, sekarang nasabah semakin "dimanjakan". Mereka tidak perlu lagi antri atau menunggu sekian waktu hanya untuk membuka rekening, menabung, atau melakukan aktivitas keuangan lainnya. Cukup buka aplikasi atau website, maka dalam hitungan menit, nasabah sudah bisa mendapatkan layanan perbankan dengan mudahnya.
Sayangnya, banyak nasabah yang belum melek literasi keuangan dan masuk pada "perangkap" kejahatan perbankan, seperti pencurian data pribadi, rekayasa sosial (social engineering), dan lainnya. Karena itu, menjadi nasabah bijak adalah pilihan paling tepat untuk menghadapi hal tadi. Prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan tetap menjadi prioritas utama. Tepatlah jika kita bisa mendorong adanya konsientisasi secara terus menerus, seperti halnya dilakukan sebagai Penyuluh Digital dan BRI, di www.nasabahbijak.id. Terlebih bersama BRI yang secara masif melakukan gerakan nasabah bijak.
Disrupsi Segala Sisi
Berbagai kemudahan yang diberikan kepada nasabah merupakan bagian dari strategi beradaptasi. Begitulah sifat hakiki dari sebuah perubahan. Charles Darwin pernah mengatakan bahwa hanya mereka yang mampu beradaptasi, yang akan bisa bertahan hidup. Bahkan, senyatanya hampir semua bidang telah "dipaksa" untuk berubah.
Masa pandemi mendorong lahirnya beragam layanan yang ramah kesehatan, aman dan bersifat personal. Muncullah inovasi-inovasi yang mengupayakan agar subjek layanan tetap bisa menerima pelayanan meski tinggal di rumah.
Inovasi perbankan digital selangkah lebih maju, dengan menyediakan layanan hampir 24 jam penuh. Namun, tidak terbantahkan bahwa kemudahan-kemudahan itu memunculkan persoalan baru. Di laman media sosial, berhamburan penawaran-penawaran menarik tentang bank digital, bagaimana calon nasabah tetap bisa melakukan transaksi keuangan meskipun dari rumah.
Terhadap berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh bank digital, nasabah tetap harus berhati-hati dan waspada. Hal penting yang bisa dilakukan adalah melek literasi keuangan.
Kewaspadaan yang semestinya diperhatikan oleh nasabah adalah keamanan data diri agar tidak "diambil" oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Salah satu bentuk kejahatan dengan cara memanipulasi psikologis pengguna, sehingga, secara sadar maupun tidak sadar, memberikan data atau informasi pribadi kepada orang lain, yang disebut social engineering (rekayasa sosial). Tujuan tindakan manipulatif tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan pelaku, yang bisa dilakukan dengan berbagai media sosial, seperti email, SMS Â (SMS phishing), Whatsapp, dan melalui telepon atau berbicara secara langsung.
Dalam channel youtube Jasa Keuangan, Komisioner OJK memberikan tips yang bisa dilakukan untuk menghindari terjadinya soceng (social engineering).
1. Jangan mengumbar data pribadi di media sosial.Â
Berhati-hatilah saat mengunggah data-data diri. Data diri yang dimaksud bisa berupa alamat e-mail, nama ibu kandung, nomor telepon dan sebagainya. Jagalah dengan benar batas-batas rahasia tersebut.