Ingat saat sekolah, pernah mendapatkan nilai tinggi, ranking 1 selama hampir dua tahun berturut-turut. Tetapi, di tahun ketiga, nilai mulai turun (drastis).
Di antara sekian bidang studi di jurusan A2, hanya Biologi yang rasa-rasanya paling menyenangkan. Selain gurunya yang asyik, isi pelajarannya pun tak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari. Apalagi jika sudah menyebut bagian-bagian tubuh dengan kosa kata Latin, agh.. rasanya sudah hebat saja. Mungkin karena itu, nilai Biologi bisa stabil bagusnya.
Sedangkan nilai pelajaran Kimia dan Fisika, yang juga bagian dari program eksakta, nyaris terjun bebas. Membaca jadwal pelajarannya saja sudah gemetar, apalagi bertemu guru Kimia yang semi killer, bertambahlah getaran-getaran kecemasannya.
Jika Fisika, meski tidak terlalu minat dengan pelajarannya, tetapi di jam pelajarannya sangatlah menyenangkan. Kenapa? Ya, karena guru yang mengampu Fisika saat itu adalah guru muda (mungkin baru lulus kuliah) yang masih kelihatan polosnya.
Bukannya kita memperhatikan pelajarannya, tetapi kami malah cekikikan saat sang guru menulis di papan tulis dengan jari gemetar, sampai terdengar bunyi benturan kapur ke papan tulis. (Maaf ya pak). Bahkan saat menjelaskannya pun, resonansi suaranya seolah bervibrasi saking groginya.
Saat di tahun ketiga SMA itulah, saya merasa pertaruhan hidup dimulai. Pertanyaan besar yang mendominasi adalah: bagaimana seandainya tidak lulus? Tentu, betapa malu dan tak bergunanya saya. Begitulah kira-kira perasaan yang berkecamuk saat itu. Sudah sekolah merantau, tak berhasil, lalu apa kata orang-orang tentangku (juga orangtuaku). Masa(kan) di kelas 1 dan 2 bisa ranking satu, tetapi “anjlog” di kelas 3.
Kata guru BK (Bimbingan Konseling), usia-usia rawan munculnya kenakalan adalah di kelas 2. Kelas 1 disebut masa orientasi baik dengan teman, guru, maupun pola belajar yang baru. Sedangkan di kelas 3, disebut masa penentuan karena hasil Ujian Nasional di ujung semester bisa menentukan nasib selanjutnya, apakah akan lanjut atau tidak untuk kuliah.
Sedangkan saya, bisa jadi sebuah anomali. Kelas 2 masih semangat-semangatnya berprestasi. Baru kemudian di kelas 3, justru mulai kelihatan ketidakteraturan ritme belajarnya. Jika mau beralasan, mungkin saja karena saat itu, selain sekolah saya juga sudah bekerja, menjadi asisten (koster) di sebuah pastoran di Jogja.
Pagi sekolah, sorenya membersihkan gereja dan pastoran. Jika tidak salah, persis di tanggal-tanggal krusial, seperti ujian-ujian akhir, seringkali bertepatan dengan perayaan-perayaan besar seperti Natal dan Paskah. Habis energi, tak ada waktu untuk belajar karena “sibuk” mengurus dan mempersiapkan perayaan-perayaan itu, menjadi alasan pembenar untuk menghindar dari rasa bersalah.
Kini, bercermin dari kisah di masa sekolah itu, sekurang-kurangnya menjadi tahu di titik mana kurang dan lebihnya. Menyadari bahwa nilai beberapa bidang studi tidak cukup sempurna, memang sempat membuat terpuruk, meski tidak berlarut. Ada saat di mana menghakimi bahwa pelajaran Fisika dan Kimia adalah mutlak pelajaran yang sulit.
Jika ditanya apa rumus kimia yang masih nyantol sampai sekarang, jawab langsung H2O untuk air, O2 untuk Oksigen, H2SO4 untuk asam sulfat. Materi lainnya, sudah terbang entah kemana.
Menurut Carol S. Dweck, dalam “Mindset, The New Psychology of Success” (2016), perasaan terpuruk dan gagal yang terus menerus dapat menghambat kemajuan. Nilai-nilai ujian yang tidak sempurna dapat dilihat dari dua sudut pandang, terutama dalam cara bagaimana menyikapinya.
Our research has shown that this comes directly from the growth mindset. When we teach people the growth mindset, with its focus on development, these ideas about challenge and effort follow. Similarly, it’s not just that some people happen to dislike challenge and effort. When we (temporarily) put people in a fixed mindset, with its focus on permanent traits, they quickly fear challenge and devalue effort (Carol, p.14).
Seandainya saja, waktu itu saya tidak menutup diri, memblokade pikiran terhadap Kimia dan Fisika, apalagi menganggapnya sebagai pelajaran yang sulit, bisa jadi nilai-nilai tentangnya akan bagus.
Kata Carol, pola pikir yang stagnan dan tidak terbuka pada hal baru itu merupakan ciri orang dengan pola pikir yang kaku (fixed mindset). Orang dengan fixed mindset cenderung melihat kegagalan sebagai hal negatif yang patut diratapi terus menerus.
Sebaliknya, orang yang menjadikan kegagalan sebagai (bertambahnya) “pengalaman berharga”, maka orang tersebut masuk dalam kategori growth mindset.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Carol menyebut bahwa tipikal orang-orang sukses, adalah mereka yang memiliki growth mindset, cara pikir yang bertumbuh. Pertama, bagaimana seseorang menghadapi tantangan. Orang dengan growth mindset akan menghadapi bahkan mencari tantangan. Ia akan mencari cara-cara kreatif untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal.
Kedua, Hambatan bukanlah penghalang untuk maju. Seberapapun besar hambatannya, akan dicari cara terbaik untuk mencari solusi, dan bukan menghindari permasalahan dengan berbagai alasan.
Ketiga, kesuksesan dicapai melalui usaha dan kerja keras. Orang dengan pola pikir yang bertumbuh, berpikir bahwa proses dan segala upaya yang dilakukan adalah bagian penting untuk menjadi ahli. Sama seperti saat kita belajar naik sepeda; dari yang tidak bisa, ditambah jatuh bangun sebagai hal biasa, lalu akhirnya bisa dan mahir mengendarai sepeda. Seorang dengan growth mindset percaya bahwa keterampilan bisa dilatih. Maka, ia sangat percaya pada proses, dan bukan semata-mata pada hasilnya.
Keempat, terbuka terhadap kritik. Bos Amazon, Jeff Bezos, di sebuah tweetnya mengatakan: “Listen and be open.. !" Dengarkan dan terbukalah menerima kritik. Kritik dibutuhkan sebagai evaluator agar memperbaiki diri, dan terus maju berkembang.
Dan, kelima, orang-orang sukses yang diteliti Carol mengindikasikan adanya kemauan belajar dari "orang-orang sukses". Tung Desem Waringin, dalam buku "Workless Earnmore" (2021), mengatakan untuk sukses, maka carilah dan belajarlah dari orang-orang yang sudah sukses. Cari mentor yang terbaik di bidangnya, dan belajarlah darinya.
Terlepas dari itu semua, di ujung tulisan ini, ijinkan saya menyampaikan salam hormat dan terima kasih untuk para guru di SMA, yang telah berkenan tidak hanya memberikan pujian tetapi juga kritik-kritik (lecutan), agar saya (dan kami) terus belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H