Alkisah, ada seekor bekicot, bernama Coki yang bermimpi bisa mencapai puncak pohon pisang yang paling tinggi. Alasannya cuma satu, ia ingin membuktikan kata-kata orangtuanya. Suatu waktu, ortunya pernah bilang: "capailah cita-citamu setinggi pucuk pohon pisang!"Â
Setiap hari Coki melihat dan mendongak ke atas sampai ke puncak pohon pisang. Hampir mustahil rasanya untuk bisa mencapainya. Tapi, Coki bertekad bulat, aku harus bisa, katanya dalam hati. Apa yang kamu pikir, itulah yang akan terjadi, begitu ibunya sering menasihati.
Maka, satu bulan sebelum waktunya tiba, Coki melatih diri, fisik dan mental. Ia merangkak dari dahan satu ke dahan yang lain. Sesekali untuk mencoba kelenturan tubuhnya, Coki menggelantung di pelepah daun pisang selama beberapa waktu.Â
Coki juga menghitung kecepatannya merambat dengan jarak tempuh, dan tinggi pohon pisang. Coki bertanya pada ortunya tentang hitung-hitungan itu. Agar nanti, Coki bisa tahu berapa kali harus berhenti, merambat lagi, dan seterusnya hingga puncak.
Setelah beberapa minggu berlatih keras, tibalah waktunya. Coki telah bersiap dengan sepenuh tenaga. Sejak awal, orangtuanya sudah memberitahu ada 5 tanjakan yang harus dilalui. Coki tidak gentar.Â
Dengan sigap, Coki pun merambati pohon pisang dari ujung paling bawah. Kaki dan tangannya kuat mencengkeram batang pohon pisang.Â
Sebentar lagi, Coki akan sampai di tanjakan pertama. Coki masih bersemangat. Matahari mulai meninggi. Pandangan mata Coki mulai terhalang sinar matahari. Coki terus naik.Â
Tiba-tiba pandangan matanya mendadak buram. Ada seekor semut yang terpisah dari rombongan, jatuh persis di pelupuk matanya. Tangan dan kakinya berupaya mencengkeram pohon pisang kuat-kuat. Coki mulai merasa takut akan jatuh. Tapi tekadnya sungguh kuat. Coki mengedip-kedipkan mata, berharap semut malang di dalam matanya bisa keluar. Akhirnya, Coki berhasil mengeluarkan semut itu dari kelopak matanya.Â
Coki kembali memanjat, meneruskan perjalanan. Coki masih mendengar kedua orangtuanya berteriak memberi semangat.Â
Coki terus memanjat hingga menuju tanjakan kedua. Coki berhenti sebentar. Ia kembali mendongak ke atas. Sinar matahari semakin menyilaukan pandangan matanya. Coki melihat ke bawah. Orangtuanya terus melambai-lambaikan tangannya dengan semangat. Mereka setia menunggui Coki, meskipun dalam hati mereka tidak begitu yakin.
Napas Coki mulai melambat, setengah-tengah. Tenggorokannya seperti terkecik. Bisa jadi, apa yang dikatakan Bela, si Katak Danau waktu itu benar adanya. Semakin ke atas, semakin tinggi, asupan oksigen serasa semakin tipis. Agh. Mungkin saja Si Bela salah. Tokh dia belum pernah melompat setinggi pohon pisang ini, gumam Coki dalam hati.