Layangmu tak tompo wingi kuwi;
Wes tak woco opo karepe atimu,
Trenyuh ati iki moco tulisanmu
Ora kroso netes eluh neng pipiku;
Umpomo tanganku dadi suwiwi
Iki ugo aku mesti enggal bali;
Ning kepiye maneh mergo kahananku
Cah ayu entenono tekanku
...
Lagu "Layang Kangen", yang ditulis Didi Kempot di Rotterdam Belanda tahun 1996 ini, kali pertama saya dengarkan di (sekitar) pertengahan tahun 1999. Seorang sahabat mengenalkan lagu ini, saat kongkow dengan beberapa teman. Petikan gitar dan suaranya yang merdu membuat saya jatuh hati, mulai menghapal lagunya dan menyanyikannya di setiap kesempatan.
Belakangan, di tahun 2019 akhir hingga sekarang, lagu-lagu Didi Kempot semakin digandrungi. Bukan saja oleh kalangan orangtua yang jadul, tetapi justru menjalar bahkan merasuk pada orang-orang muda dari segala lapisan strata sosial.
Pilihan lagu yang saya putar di setiap weekend pun selalu lagu-lagu Didi Kempot. Bahkan sesekali, saya dan anak lanang (5th) berdansa, bergoyang bersama mengikuti irama campur sari Didi.
Begitulah, lagu-lagu Didi Kempot menjadi tombo, obat rindu pada suatu suasana, pada suatu waktu, pada suatu memori yang hadir secara anamnesis. Mendengarkan lagunya, membuat insting permusikan saya tidak minder lagi.
Dan, pagi hari ini, Sobatnya Sobat Ambyar pergi selamanya. Sobat Ambyar Berduka, benar-benar berduka. Selamat jalan. Rahayu ing kalanggengan. Biarlah kau tuliskan kembali layang kangen dari surga yang indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H