“Arab?!” Mata Tiwi jelas membelalak. “Mana mungkin, Bu. Tiwi kan sarjana!” (kata terakhir sengaja ditekan-tekan secara terbata).
“Apa Ibu salah berharap darimu?”
“Bukan, Bu. Bukan itu persoalannya. Ibu tidak salah. Justru Tiwi yang salah kalau mengabaikan permintaan Ibu.”
“Lalu?”
Tiwi terdiam. Ia segera meneguk segelas air putih, meski kerongkongannya tak kering. Tiwi menata nafasnya. “Bu. Sekarang Tiwi ingin tahu sesuatu dari Ibu.”
“Katakan Tiwi!”
“Hmm. Memang Ibu ingin banget Tiwi pergi ke Arab? Apa Ibu benar-benar ingin Tiwi menjadi TKW? TKW Bu?”
Mendadak gemericik air comberan menelusup ke lubang-lubang kesunyian. Suara televisi di rumah sebelah, juga terdengar. Bahkan nyanyi biduan dari orkes melayu yang berlatih malam itu, mulai mengusik ketenangan, meski kadang hilang ditiup angin. Sejatinya, malam belum berangkat terlalu larut. Tapi, jangkrik dan katak-katak selokan, sudah tak sabar beradu pentas dengan biduan orkes melayu. Jangkerik pada suara sopran, katak pada suara bariton. Tak selaras memang. Tetapi, setidaknya begitulah sebuah malam harus dinikmati.
“Tiwi. Seandainya kamu tidak mau ke Arab, Ibu tidak sakit hati. Tetapi Tiwi harus tahu, tetangga-tetangga kita yang pergi ke Arab sekarang sudah bisa membangun rumah bertingkat, dengan tembok tebal, pintu gerbang yang tinggi dan runcing, dan jendela-jendela kaca berwarna hitam, serta atap-atap kubah yang eksotik…” Ibu menelan ludah. Melihat Tiwi tidak bereaksi, Ibu kembali berucap dengan lihainya.