Satu nama pada dua subjek tersebut menunjuk pada masing-masing cerita. Nama "Budi" adalah nama yang tak asing bagi saya, sekaligus bagi (hampir) seluruh anak-anak Indonesia pada era tahun 80-an. Adalah Siti Rahmani Rauf, seorang guru sekolah dasar kelahiran Padang, 5 Juni 1919 sebagai sosok pencipta tokoh Budi dan Ani dalam buku "Ini Budi". Nama "Budi" menghilang sejak kurikulum 2013 menggantinya dengan nama-nama yang mencerminkan kebhinnekaan. Ibu Rauf meninggal di Jakarta, 10 Mei 2016.Â
Bagi saya, nama Budi menjadi nama pertama yang saya kenal sejak masih kecil, bahkan sampai sekarang. Tentu saja, bapak menyematkan nama Budi sebagai nama diri. Ditambah dengan tanggal kelahiran tepat pada tanggal 20 Mei, maka bersatulah nama Budi Utomo. Sejatinya, saya mensyukuri pilihan nama itu. Sebab, nama Budi Utomo, pun pula menjadi nama organisasi kebangsaan yang turut menyumbang gagasan dan pemikiran kebangsaan Indonesia.Â
Perihal nama kedua, Guru Budi, yang belakangan viral adalah sebuah cerita pilu tentang nasib seorang guru yang dianiaya muridnya sendiri. Adalah Ahmad Budi Cahyono (26 tahun), guru honorer yang mengajar seni lukis di SMAN 1 Torjun Sampang. Pada versi kronologi yang terakhir, si murid memberikan reaksi spontan memukul guru Budi, karena tidak terima ditegur oleh gurunya. Namun, akibatnya fatal. Sepulang sekolah, guru Budi terus mengeluh sakit, hingga akhirnya nyawanya tidak tertolong.
Menyimak kisah guru Budi, dunia pendidikan berduka sekaligus terkoyak. Selama beberapa waktu, saya tercenung dengan kisah pilu guru Budi. Bagaimana bisa itu terjadi?Â
...
Pendidikan Karakter (Belum) Terintegrasi
Saat magang di Jepang, seorang keponakan bercerita perihal perilaku orang Jepang saat menyeberang jalan. Semua pihak saling menghormati. Seusai menyeberang, mereka akan membungkukkan badan kepada para pengendara sebagai tanda terima kasih. Ini amazing.Ini perilaku sederhana tetapi memberi gambaran adanya habitus, pembiasaan perilaku yang baik yang telah tertanam, tidak hanya di rumah, di sekolah, tapi juga di masyarakat. .
Si murid yang menganiaya guru Budi disebut-sebut sebagai pendekar. Menarik untuk dikaji, sejauh mana perilakunya di rumah memengaruhi perilakunya di sekolah ataupun di masyarakat. Bersikap respectterhadap orangtua dan guru bukanlah "bangunan perilaku" yang disusun secara singkat. Pendidikan karakter dilakukan terus menerus, berkesinambungan, dan konsisten.Â
Apa jadinya, jika pendidikan karakter diserahkan hanya di sekolah. Mungkin di sekolah, seseorang menjadi baik karena patuh pada aturan dan takut mendapat sanksi. Begitu sampai di rumah, orangtua saling bertengkar, atau malah sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Di sinilah perlunya kesinambungan pendidikan karakter - pendidikan nilai, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Jangan dikira, Anda yang bersikap "arogan" dengan membuang sampah sembarangan di jalan raya, atau di sungai-sungai tidak memengaruhi perilaku anak-anak kita. Sadar atau tidak sadar, anak-anak adalah pengamat sejati. Maka, bantulah mereka untuk terus membangun karakter yang baik, berperilaku yang baik, bertutur kata yang baik.
Masih ada banyak peer agar saya dan Anda tidak lelah menyebarkan kebaikan. Pendidikan budi pekerti adalah tanggung jawab kita bersama, terutama orangtua, sekolah, dan masyarakat pada umumnya.Â
Terima kasih bu Rauf atas pelajaran i-ni bu-di (nya). Selamat jalan guru Budi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H