Mohon tunggu...
Y Banu
Y Banu Mohon Tunggu... -

Y Banu adalah seorang pemberdaya masyarakat, dan juga seorang pemerhati masalah perpolitikan, sosial budaya serta kepedulian akan kondisi perbatasan negara...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlukah Hukuman Mati?

30 Juli 2016   20:32 Diperbarui: 30 Juli 2016   20:38 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hukuman mati kembali dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Eksekusi kali ini kepada 4 orang terpidana hukuman mati kasus Narkoba. Pemerintah tetap konsisten menjalankan hukuman mati kepada terpidana walaupun di dalam negeri tidak sedikit pihak yang menentang eksekusi hukuman mati. Mereka menuntut penghentian hukuman mati. Tidak layak dan sepantasnya pemerintah masih melakukan eksekusi hukuman mati karena dianggap melanggar hak hidup dari manusia sehingga menuntuk pemerintah melakukan moratorium hukuman mati.

Bagi pemerintah, hukuman mati dianggap bisa sebagai efek jera bagi para pelaku kejahatan, sehingga mereka takut untuk melakukan tindakan kejahatan lainnya. Akan tetapi kita ambil salah satu contoh efek hukuman mati yaitu terkait penyalahgunaan dan peredaran narkoba, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa pengguna narkoba dari bulan Juni 2015 yaitu 4,2 juta orang mengalami peningkatan pada  Bulan November 2015 menjadi 5,9 juta orang. Padahal bulan April 2015 lalu pemerintah juga mengeksekusi beberapa bandar narkoba termasuk duo Bali Nine, sebaliknya angka penggunaan dan peredaran Narkoba justru meningkat. Pertanyaan kritis kemudian muncul, dimana efek jeranya? masih perlukah hukuman mati di Indonesia ini?

Bila kita telaah, sebenarnya hukuman mati masih releven untuk dijadikan efek jera bagi para pelaku, akan tetapi harus ada revolusi hukum sehingga hukuman mati bisa benar-benar menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan tepat sasaran mengurangi angka kejahatan di Indonesia. Terlalu mudah melakukan kejahatan di negara ini, terlebih bila kejahatan yang dilakukan memperoleh untung secara materiil yang besar. Mengapa demikian? Coba kita lihat pemberitaan sekarang ini, beberapa jam sebelum salah satu terpidana mati dieksekusi, yaitu Freddy Budiman, muncul berita curhatan dari Freddy kepada Harry Azhar, Koordinator Kontras, bahwa kegiatan terlarang yang dilakukannya tersebut diketahui oleh aparat, bahkan  Freddy mengaku selalu memberikan uang dengan nominal cukup besar kepada oknum aparat polisi maupun BNN dari kegiatan pengadaan dan peredaran narkoba yang dilakukannya.

Bahkan dari pengakuan mantan pacar Freddy yaitu Anggita Sari, Freddy ini adalah “penguasa” Cipinang, semua orang disitu mendapatkan uang dari Freddy sehingga dia bebas melakukan apapun disana dan memperoleh kamar khusus termasuk masih tetap menjalankan bisnis narkobanya, luar biasa bukan? Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa para narapidana dengan kasus kakap dan bisa menghasilkan materi yang besar, cenderung menjadi “ATM” berjalan para oknum aparat.

Sudah rahasia umum di negara ini, bahwa kegiatan yang illegal dan kriminal telah dijadikan ladang uang bagi para oknum aparat negeri ini. Lalu dimana efek jera hukuman mati bila inti permasalahan yang ada ini tidak diselesaikan? Perlu Revolusi hukum untuk memperbaiki ini semua.

Revolusi hukum yang pertama adalah Law Amnesty bagi para aparat dan pejabat negara. Pengampunan hukum bagi para pejabat dan aparat negara yang melakukan beking maupun yang terlibat pada tindak pidana kriminal tertent. Prinsipnya mudah saja, aparat tidak akan mau menjadi beking atau terlibat bila tidak ada uang di dalamnya. Oleh karena itu, pengampunan yang diberikan tidak sekedar hanya pengampunan, akan tetapi meminta kepada seluruh pejabat dan aparat negara maupun daerah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, kepolisian hingga militer untuk membuktikan harta kekayaannya dan kemudian dilaporkan kepada negara.

Tidak hanya pribadinya saja, akan tetapi juga, pembuktian kekayaan bagi anggota keluarganya. Bila ditemukan adanya kekayaan dari hal yang illegal dan kriminal, maka dia akan mendapatkan amnesty atau pengampunan hukum. Law amnesty ini mempunyai jangka waktu, sehingga para pejabat yang tidak melakukan ini di jangka waktu yang telah ditentukan, dan kemudian ditemukan adanya kekayaan dari kegiatan illegal dan kriminal maka mereka akan diberi hukuman maksimal.

Revolusi hukum yang kedua adalah justice collaborator bagi para terpidana mati. Bila mereka bersedia menjadi JC, maka hukuman mereka akan dikurangi hingga menjadi hukuman maksimum 20 tahun penjara. Sehingga upaya hukum dari para terpidana mati untuk tidak dieksekusi akan bertambah besar bila mereka bersedia menjadi JC dan membongkar semua hal yang mereka ketahui. Bila apa yang disampaikan terbukti maka mereka akan langsung diberikan pengurangan hukuman menjadi 20 tahun penjara karena dianggap telah membantu negara mengungkap kasus kejahatan yang lebih besar.

Revolusi hukum yang ketiga adalah terapkan hukuman mati langsung bagi para aparat yang terlibat atau membekingi kegiatan-kegiatan yang illegal maupun kriminal. Tidak ada hukuman lain bagi aparat yang terlibat kecuali langsung diberikan hukuman mati. Inilah yang akan memberikan efek jera yang amat sangat besar bagi penindakan kegiatan illegal dan kriminal di negara ini. Aparat akan bekerja sangat serius untuk mengusut semua kejahatan-kejahatan yang ada di negara ini, dan utamanya, mereka menjadi takut untuk terlibat atau menjadi beking bagi para pelaku kejahatan. Maka dari itu, sebelum revolusi hukum yang ketiga ini dilaksanakan, law amnesty akan dijalankan sebagai bagian dari revolusi hukum pertama.

Pertanyaan selanjutnya, beranikah eksekutif beserta legislatif duduk bersama, merancang suatu undang-undang yang mencakup ketiga hal ini semua? Sedangkan untuk UU Pembuktian Harta Terbalik aja tidak pernah ada yang mau membahas, padahal Gubernur DKI Jakarta, sudah berkali-kali menantang para pejabat untuk melakukan itu.

Bila tidak berani, jangan harap negara ini berubah, jangan harap para pejabat dan aparat bersih, dan jangan harap negara ini bisa maju seperti cita-cita bapak pendiri bangsa kita. Percuma berkali-kali hukuman mati diterapkan bila inti masalah dari kejahatan itu tidak diselesaikan, tidak akan efek jera yang terjadi. Maka sebagai penutup tulisan ini saya kutip kata-kata dari Bapak Bangsa kita, Soekarno, yaitu perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah akan tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun