Indonesia kembali mampu membuktikan kedewasaan demokrasinya dalam pelaksanaan Pilpres beberapa bulan lalu.  Tensi politik sangat panas, akan tetapi secara umum pelaksanaan Pilpres berjalan dengan baik dan damai  disertai dengan terobosan-terobosan yang cukup baik , salah satunya adalah upload scan hasil c1 dari seluruh TPS se Indonesia oleh KPU.
Seharusnya momentum keberhasilan pelaksanaan Pilpres yang damai dan demokratis itu menjadi sesuatu yang membanggakan untuk seluruh bangsa dan tetap melanjutkan proses demokrasi yang telah perlahan-lahan menemukan bentuk dan menghasilkan  pimpinan nasional maupun beberapa kepala daerah yang benar-benar bekerja untuk rakyatnya.
Akan tetapi justru saat ini kenyataan yang terjadi sebaliknya, mengapa? Beberapa anggota dewan terutama yang tergabung dalam koalisi merah putih merasa tidak puas akan pemilihan langsung untuk kepala daerah, dan mengusulkan supaya Pilkada langsung ditiadakan dan dikembalikan lagi ke DPRD yang dianggap sebagai perwakilan rakyat, dan dapat dimasukkan dalam RUU Pilkada yang baru, sejujurnya ini adalah suatu kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, mengapa?
1. Rakyat mulai peduli.
Bila ada yang mengatakan bahwa percuma Pilkada langsung, tingkat partisipasi pemilih rendah, alias angka Golput sangat tinggi. Lalu apakah ini menunjukkan rakyat tidak peduli? Saya berani bilang tidak. Â Hal ini justru menunjukkan karena masyarakat peduli, sebaliknya justru yang tidak peduli adalah Parpol-parpol penyedia calon-calon kepala daerah, mengapa saya mengatakan demikian? Â Ibarat sebuah rumah makan, Parpol harus menyediakan makanan yang lezat dan menyenangkan semua orang, akan tetapi ketika parpol menyediakan makanan yang tidak enak dan tidak disukai semua orang, apakah rakyat harus tetap memakan dan menelannya bulat-bulat? Intinya, sediakan kami sebagai rakyat, calon pemimpin yang baik, track record yang bersih, jauh dari kepentingan apapun kecuali kepentingan rakyat, dan mau bekerja untuk kami, rakyat, maka kami akan menangkan calonmu. Rakyat sekarang tidak lagi memilih partai, tetapi memilih figur pemimpin mereka. Lihat saja tren Pilkada yang diikuti oleh calon-calon pemimpin dengan track record baik, sejalan linear dengan tingkat partisipasi pemilih di tempat tersebut.
2. Balas Jasa dan Penuh Kepentingan
Secara konstitusi, DPRD memang representatif dari rakyat di daerah, tetapi apakah DPRD saat ini benar-benar bisa dipercaya dan akan memilihkan kita, rakyat, pemimpin yang benar-benar mau bekerja untuk rakyat? Mohon maaf saya ragu untuk itu. Pemilihan oleh DPRD, justru menyuburkan politik dagang sapi yang selama ini berkembang, karena suka tidak suka, mau tidak mau, seseorang yang ingin maju haruslah melalu parpol-parpol yang duduk di DPRD. Bukankah sama saja bila Pilkada langsung, calon pemimpin harus melalui parpol? Â Memang sama, tetapi disinilah kita juga bisa melihat perbedaannya. Sebagai contoh Pilkada DKI beberapa waktu lalu, bila Pemilihan dilakukan oleh DPRD, kita tidak akan melihat Jokowi - Ahok duduk sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, dan Foke tentu akan melenggang dengan mudah. Disinilah politik dagang sapi dimulai, seorang calon perlu melakukan beberapa pendekatan, baik pendekatan mahar politik, maupun imbal balik proyek kepada parpol-parpol sehingga dapat memberikan suaranya kepada sang calon untuk memenangi pemilihan di DPRD, dan saya sangat yakin akan banyak lagi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena keharusan membalas budi dan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
3. Strategi tim Koalisi Merah Putih
Suka tidak suka, senang tidak senang, bahwa usulan ini bukan usulan demi rakyat dan bangsa Indonesia, tetapi usulan demi kepentingan sekelompok orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya dan termasuk di dalam strategi dari Koalisi Merah Putih. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh parpol yang tergabung dalam koalisi merah putih, terlihat jelas bahwa masih ada dendam di mereka terkait kekalahan di Pilpres beberapa waktu lalu. RUU Pilkada ini merupakan test case pertama mereka, untuk unjuk kekuatan koalisi merah putih. Bila RUU ini berhasil disahkan, maka ke depan mereka akan percaya diri untuk bisa menyetir pemerintahan yang sah nanti dengan posisi oposisinya plus satu partai penyeimbang. Apakah itu cukup membuat mereka puas? Tidak. Dalam pengamatan saya, menang di nasional, harus juga diimbangi dengan menang di daerah, dan Pilkada oleh DPRD ini adalah salah satu jalannya. Kita sudah melihat, bagaimana seorang SBY saja sangat kesulitan untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Daerah yang tidak berasal dari partainya, apalagi bila nanti, Jokowi melawan Kepala Daerah yang berasal dari tim koalisi merah putih? Harapan mereka cukup jelas, kalaupun pemerintah berjalan, setidaknya program-program pemerintah pusat tidak akan berjalan maksimal sehingga rakyat tidak akan merasakan program-program tersebut dan popularitas Jokowi akan semakin menurun. Mengapa demikian? Mereka semua menyadari, Jokowi memiliki track record baik bila mengikuti pemilihan sebagai incumbent, menang telak di Solo pada saat mencalonkan kembali sebagai Kepala Daerah, merupakan suatu fakta yang sangat disadari oleh tim Koalisi Merah Putih, terlebih ambisi Prabowo untuk maju di 2019 masih terlihat jelas. Bukankah lebih mudah mengalahkan Jokowi bila poularitasnya turun, dan hanya disebut Presiden blusukan tetapi tidak berdampak apa-apa?
Lalu bila semua strategi itu berhasil, apakah yang kita dapat sebagai rakyat? Ibarat pepatah, dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengahnya. Kita pun akan tetap seperti ini, Indonesia juga akan tetap seperti ini, semua terkalahkan oleh kepentingan-kepentingan penggede bangsa, baik itu kepentingan ambisi berkuasa, kepentingan menyelamatkan bisnis mereka dan membayar utang, ataupun kepentingan untuk memasukkan ideologi-ideologi mereka yang sebenarnya bertentangan dengan ideologi bangsa ini.
Akan tetapi percayalah, Tuhan tidak tidur, kebenaran pasti akan menang. Siapapun yang benar, dialah yang akan berjaya.
Demikian ulasan singkat pemikiran saya terkait dengan isu yang saat ini marak yaitu Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H