Sebuah tulisan kompasioner berjudul “Demonstrasi Mahasiswa, Perlukah Dihilangkan?” menyampaikan keprihatinan atas aksi mahasiswa yang menimbulkan korban. Baik korban mahasiswa, masyarakat dan aparat penegak hukum. Selain itu, muncul keresahan terhadap model demonstrasi yang sengaja diatur untuk bentrok dengan aparat. Seperti yang berulang kali dipertontonkan para mahasiswa selama ini.
Namun, diakhir tulisannya, kompasioner yang sedang kuliah di Iowa State University (ISU) ini menyimpulkan, bahwa demonstrasi mahasiswa masih diperlukan. Mengingat mahasiswa melakukannya tanpa pamrih. Ia mengibaratkan: “Mahasiswa sebagai tangan Tuhan untuk meluruskan penguasa yang bengkok”.
Kesimpulan itu patut kita dukung, dengan beberapa catatan.
Pertama, demonstrasi mahasiswa harus tidak mencerminkan semboyan: Gaudemeamus Igitur, Juvenes Dum Sumus. Semboyan yang berarti: “Kita bergembira, selagi kita muda” ini dipakai pada masa awal aksi mahasiswa Eropa sekitar abad ke-12. Semboyan ini menggambarkan bahwa demonstrasi adalah sarana mahasiswa untuk bersenang-senang. Demonstrasi bukan bertujuan membawa perubahan kearah yang lebih baik bagi masyarakat luas. Tetapi hanya untuk memenuhi kesenangan mahasiswa.
Dalam demonstrasi mahasiswa sekarang ini. Bentrok antara mahasiswa dan aparat penegak hukum sudah menjadi tradisi. Sehingga masyarakat dengan gampang mengaitkannya dengan kebiasaan mahasiswa dalam tauran. Ada kesan tauran adalah ekpresi kegembiraan mahasiswa. Bukankah sesuatu yang menyenangkan akan dilakukan berulang-ulang? Sebagaimana tauran yang sering terjadi.
Oleh karena itu, wajar jika para pemangku kepentingan enggan berdialog dengan mahasiswa. Bisa-bisa dialog yang seharusnya ajang tukar pikiran berubah menjadi tukar pukulan. Bukankah sudah menjadi rahasia umum pejabat pemerintah yang ingin berdialog dengan mahasiswa selalu mendapat penolakan? Jangankan masuk kampus, datang ke kota tempat kampus itu berdiri saja, pejabat sudah didemo. Sebagaimana dialami Presiden SBY selama 10 tahun kepemimpinannya dan Presiden Jokowi baru-baru ini.
Berbeda halnya dengan mahasiswa angkatan 1998. Mereka pertama-tama lebih dulu membuka dialog. Setelah dialog menemui jalan buntu, mahasiswa baru melakukan aksi. Pada demonstrasi mahasiswa 1998 bentrok adalah cara terakhir agar mendapat perhatian pemerintah. Dulu, mahasiswa lebih kreatif: ada aksi mogok makan; menjahit mulut; cap jempol darah, dll. Tidak heran masyarakat berempati kepada aksi-aksi mahasiswa. Jangankan dimusuhi, mahasiswa malahan mendapat dukungan oleh masyarakat yang mereka perjuangkan.
Kedua, “...hendaknya demonstrasi digunakan sebagai cara terakhir untuk mencapai sasaran tujuan.” Demikian, aktivis 1965, Arief Budiman pernah menulis di Media Indonesia Jabar pada 1967. Arief tidak setuju dengan demonstrasi KAMI, KAPPI, dan KAPI yang menuntut Presiden Soeharto agar memperhatikan soal beras yang sudah melonjak harganya mengarah ke langit.
Arief mengingingkan “kesaktian” demonstrasi tidak hilang. Suatu demonstrasi yang dilancarkan haruslah berhasil. Kegagalan akan berdampak buruk bagi sebuah gerakan moral. Mahasiswa akan dianggap pahlawan jika berhasil dan pengacau kalau gagal. Karena itu, bagi Arief semboyan yang diusung: “Kita berhasil atau kita mati.”
Ketiga, perjuangan mahasiswa lewat demonstrasi sebaiknya hanya terkait isu yang bersifat prinsipiil dan universal. Mengingat untuk mencapai tujuan tidak semudah membalikan telapak tangan. Sifat prinsipiil suatu isu akan menciptakan mahasiswa militan. Militansi mahasiswa akan menjamin keberlangsung sebuah perjuangan. Keberlanjutan sebuah perjuangan mengisyaratkan ada regenerasi, ada penerus diinternal mahasiswa dalam mewujudkan suatu cita-cita perjuangan.
Sedangkan sifat universal sebuah isu akan mempermudah pencapaian tujuan perjuangan. Universitalitas isu dengan sendirinya akan didukung banyak orang. Terwujudlah suatu perjuangan bersama. Dengan demikian keberhasilan perjuangan relatif terjamin.
Maka, bila tidak ada isu yang bersifat prinsipiil dan universal, mahasiswa lebih baik fokus pada perkuliahan. Karena ilmu yang didapat akan menjadi bekal sebagai generasi penerus bangsa. Sejarah akan mencatat generasi mana yang akan membawa bangsa ini pada kemajuan atau kemunduran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H