Mohon tunggu...
Langit Halilintar
Langit Halilintar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

...Jujur itu sedikit gelisah di awal, namun menghilangkan banyak kepedihan nantinya...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Indonesia Bangsa Berdaulat dan Beradab

24 Februari 2015   04:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:37 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas perlakuan Presiden Brazil Dilma Rousseff yang menolak menerima surat kepercayaan Dubes Indonesia dan gaya diplomasi Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengungkit-ungkit jasa Australia atas tragedi tsunami Aceh, Indonesia layak dan pantas merespon secara keras.

Namun demikian, keikutsertaan Sekjen PBB Ban Ki-moon dan kerasnya respon negara asal para terpidana mati kasus narkoba yang telah dan akan dieksekusi mati patut mendapat perhatian. Bukan untuk membuat Indonesia goyah dan takut mempertahankan kedaulatan, tetapi lebih pada upaya memperbaiki diri. Karena bangsa yang hebat akan selalu disegani oleh bangsa lain. Bukan seperti bangsa Indonesia hari ini, yang kerap dilecehkan negara asing.

Berdaulat dan beradab

Indonesia adalah negara berdaulat. Segala bentuk intervensi negara asing atas kedaulatan Indonesia sudah selayaknya ditolak. Jika intervensi sampai menggunakan kekuatan bersenjata, TNI dan rakyat Indonesia pasti akan melakukan perlawanan. Meski alutsita ketinggalan zaman, tidak diragukan setiap komponen bangsa siap angkat senjata hingga titik darah penghabisan demi NKRI.

Bangsa Indonesia juga bangsa beradab. Keberadaban Indonesia ditandai upaya tak kenal lelah untuk memperbaiki diri. Perbaikan dimaksud terus menyasar berbagai relasi, baik relasi internal maupun relasi eksternal. Relasi internal tercermin dari hubungan antarwarga negara serta warga negara dengan negara. Sedangkan relasi ekstenal terkait hubungan antarnegara dalam komunitas dunia. Kedua relasi tersebut berkontribusi terhadap mutu kehidupan berbangsa bangsa Indonesia.

Relasi internal akan baik apabila hukum ditegakkan. Hukum sebagai sarana pengatur relasi harus bebas dari praktik tidak terpuji. Hukum tidak boleh menjadi alat kejahatan di antara sesama warga negara maupun negara terhadap warga negara. Harus dapat dirasakan bahwa setiap relasi yang terjadi diatur oleh hukum yang tidak berat sebelah.

Hal demikian tidak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Berbeda misalnya dengan Singapura. Hukum di Singapura berjalan begitu konsisten. Sejauh yang kita tahu tidak pernah terjadi kekacauan hukum. Perilaku semacam hakim Sarpin Rizaldi pasti ditindak tegas. Otoritas Singapura dan rakyatnya tidak akan terbelah dalam merespon perilaku demikian. Bukan seperti di Indonesia, otoritas dan rakyat malah sibuk “mentedjokan” yang sebenarnya sangat jelas.

Pada titik inilah, sebagai bangsa beradab, kita harus jujur. Bahwa keteguhan melakukan eksekusi mati bisa saja berpijak dari proses hukum yang tidak benar. Misalnya, terpidana mati narkoba ternyata merupakan orang yang sengaja dikorbankan oleh bandar narkoba dan aparat hukum yang berkerjasama. Dengan demikian, seolah-olah upaya pemberantasan narkoba terjadi sangat masif. Padahal, sudah rahasia umum, tempat hiburan malam salah satu tempat para pengguna narkoba biasa eksis, tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan, terus bertambah dari tahun ke tahun.

Sikap pokoke yang didukung argumen Indonesia negara berdaulat negara asing dilarang turut campur, tidak perlu terus didengungkan. Apalagi sampai diwujudkan dalam bentuk pengumpulan koin untuk Abbott sebagaima yang terjadi saat ini.

Sebagai negara beradab akan lebih baik bila Indonesia berikhtiar membangunan sistem hukum yang lebih baik. Dengan sistem hukum yang baik, negara asing akan percaya bahwa warga negaranya yang dihukum mati telah melalui proses pemidanaan yang benar, bukan proses yang direkayasa.

Ketika percaya, negara asing pasti menghormati Indonesia. Tanpa harus diminta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun