Rencana Pemerintah mendatangkan rektor dari luar negeri terutama untuk Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) menimbulkan kontroversi di kalangan birokrat dan politisi. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengaku telah direstui Presiden.Â
Beberapa politisi Senayan mengeritik kebijakan itu sebagai kurang maksimalnya Menristekdikti dalam membentuk sistem pendidikan tinggi yang visioner, ajeg dan adaptif dengan perkembangan zaman dan berpotensi bertabrakan dengan berbagai aturan Perundang-undangan yang berlaku.Â
Kekhawatiran itu semakin menguat ketika bergulirnya issue tentang resistensi terhadap tenaga asing, dan masuknya ideologi luar ke dalam sistem pendidikan kita.
Sistem akreditasi nasional semakin dituntut mengikuti perkembangan secara internasional karena Perguruan Tinggi sebagai kawah candradimuka pendidikan dituntut menghasilkan alumni yang dapat mengambil peran pada level internasional.
Pengakuan internasional pada Perguruan Tinggi pada wilayah Asean misalnya, terlihat pada laporan International Development Program (IDP) tentang Top 15 Universitas ASEAN yang bersumber pada QS World University Rankings 2019.Â
Laporan itu memasukkan 3 Perguruan Tinggi Indonesia (UI, ITB, dan UGM) pada rangking 10,11, dan 12 dikalahkan Malaysia sebanyak 5 Perguruan Tinggi pada rangking 3, 4,5,6, dan 8. Sedangkan pada Top 10 Universitas di kawasan Asia, tidak satupun universitas di Indonesia yang masuk dan National University of Singapore menduduki peringkat pertama.Â
Tentu saja sesuatu yang ironi ketika mengingat Malaysia yang merdeka pada 31 Agustus 1957 dan pernah mengimpor dosen dari Indonesia pada tahun 1970an telah melesat sebagai tujuan pendidikan tinggi di Asean mengalahkan Indonesia.
Regulasi Pengangkatan Rektor
Rektor atau sebutan lainnya pemimpin perguruan tinggi sebagai Top Manager pada sebuah Perguruan Tinggi tentu saja suatu kewajaran jika dipertanyakan efektifitasnya dalam hal tata kelola organisasi yang dipimpinnya terutama dalam hal peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berstandar internasional.Â
Adalah suatu kewajaran pula tuntutan itu mengemuka ketika globalisasi ekonomi dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) misalnya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan dalam konteks ini sangat membutuhkan SDM berstandar internasional.
Menjadi sesuatu yang menarik dan merupakan variabel penting yang patut dianalisis ketika menelisik regulasi dan mekanisme pengangkatan Pemimpin Perguruan Tinggi terutama yang dikelola Negara baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).Â