Mohon tunggu...
Muhammad YazidYaskur
Muhammad YazidYaskur Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Imam Bonjol Padang

Linguistik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aliran Murji'ah dan Kontroversinya: Ajaran yang Meniadakan Amal dalam Iman

7 Desember 2023   18:40 Diperbarui: 7 Desember 2023   19:58 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat Islam dengan sebenar-benarnya Agama Islam datang dengan ajarannya untuk mendamaikan perbedaan yang terjadi di masyarakat. Namun seiring berkembangnya zaman, tidak dapat dihindarkan perbedaan pandangan dan pemikiran dalam masyarakat menyikapi permasalahan teologis, melahirkan aliran-aliran yang beragam dikalangan masyarakat. Aliran yang berkembang ini tidak sedikit yang bertentangan dengan agama Islam. Aliran Murjiah merupakan satu dari hasil berkembangnya pemikiran agama Islam yang menyimpang dari kebenarannya.

Murji’ah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ورجئ (warja'a), yang berarti "menunda", “menyisihkan”, atau "menyimpan" sesuatu. Adapun secara terminologis, Murji'ah adalah sekelompok pemikir yang menekankan bahwa iman dan amal perbuatan (kebaikan dan dosa) adalah dua entitas terpisah dan iman seseorang tidak akan mempengaruhi atau mempengaruhi status akhir seseorang di akhirat (Sariah, 2012). Penilaian terhadap iman seseorang ditangguhkan atau ditunda dan hanya Allah yang tahu dengan pasti siapa yang beriman atau tidak. 

Oleh karena itu, aliran ini menolak penilaian manusia terhadap status keimanan atau kekafiran seseorang berdasarkan dosa-dosanya. Secara keseluruhan, aliran Murjiah dalam Islam mencerminkan pandangan teologis yang menekankan penangguhan penilaian terhadap iman dan dosa, dengan keyakinan pada pengampunan dan kesabaran Allah dan menolak pemaksaan hukuman dunia dan takfir manusia, mempercayai bahwa penilaian akhir sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah.

Aliran Murji'ah dan Khawarij memiliki sejarah yang berkaitan dengan perbedaan pandangan teologis dan politik dalam Islam awal, yaitu pada masa pemerintahan Utsman, terjadi sejumlah peristiwa yang menjadi cikal bakal perselisihan antara aliran Murji’ah dengan Khawarij. Ketidakpuasan dari kekhalifahan Utsman bin Affan berujung pada pembunuhan Utsman pada tahun 656 M / 30 H. Kemudian berlanjutlah kekhalifahan selanjutnya yaitu Ali bin Abi Thalib yang menimbulkan beberapa konflik yang baru atas permasalahan kematian atas Utsman. 

Puncaknya pada saat Perang Siffin yang melibatkan pengikut setia Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang dikemudian hari perdamaian yang dideklarasikan oleh kedua pihak itu pun dikhianati dari pihak Muawiyah (as-Sulami, 2004). Oleh karena itu sejumlah pengikut Ali yang merasa kecewa itu pun membentuk kelompok Khawarij yang menolak eksistensi Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Sebaliknya, kaum Murji’ah ini mengarah kepada kelompok yang lebih memilih menghindari dirinya dari konflik ketegangan yang terjadi pada masa itu (Rubini, 2018).

            Pada dasarnya aliran Murji’ah terbentuk atas penolakannya terhadap aliran Khawarij yang menjustifikasi seseorang secara langsung bahwa ia adalah seorang yang telah keluar dari ajaran-nya/kafir. Lain halnya dengan Murji’ah yang memandang bahwa letak kafir atau tidaknya seseorang hanyalah Allah semata yang mengetahuinya yang membawa mereka kepada bersikap husnudzon terhadap sesama muslim. Mereka berpegang teguh kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang menyerukan sifat Allah yang maha pengampun (3:133, 4:48, 20:82, 39:53, 72:10), selagi seorang muslim itu tidak menyekutukan Allah (beriman), perbuatan dosa yang dilakukan pasti akan mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Sehingga aliran Murji’ah ini cenderung memberikan harapan kepada seseorang yang telah berbuat dosa agar dapat Kembali ke jalan-Nya.

Namun, konsep ini justru menyalahi ajaran dari Islam, yaitu mengenai status amalan yang dapat mempengaruhi keimanan seseorang. Mereka cenderung menyepelekan kedudukan amalan diatas keimanan seseorang. Padahal, hakikatnya seseorang dikatakan beriman jika amalan seseorang itu baik. Rasulullah SAW bersabda:

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah minum minuman keras ketika minumnya dalam keadaan mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Muttafaqun ‘Alaihi). Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:

وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”(QS al-Kahfi: 13). Dikatakan dalam tafsirannya Sahabat bertanya mengenai berkurangnya keimanan seseorang, Maka Rahimullah menjawab “Jika sesuatu bisa bertambah, maka sesuatu itu bisa berkurang pula” (diriwayatkan kisah ini oleh al-Aajuriy dalam kitab asy-Syari’at hlm 117). Dan pula Rasulullah SAW bersabda:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun