Saya bergegas menaiki motor supra tua. Menyusuri jalan Kota Babat yang agak padat sore itu. Waktu sore seperti ini adalah waktu yang sangat tepat untuk bersepeda keliling. Apalagi senja Babat duh sungguh indah katanya. Agenda sore begini biasanya ya sekedar beli lauk untuk makan malam teman-teman atau sekedar mencairkan suasana.Â
Tapi sore itu keadaan saya agak suntuk. Dari siang hingga sore, menulis satu artikel untuk pondok benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Malam itu juga saya harus menyelesaikan satu tanggungan lain. Sore itu pula, saya baru ingat punya janji untuk mengirim titipan barang teman asal Jawa Barat di salah satu layanan kurir swasta.
Sial saya baru ingat itu pukul 16.30 sedangkan layanan kurir tersebut tutup pukul 17.00. Saya pun meluncur cepat, mengajak salah seorang teman. Sekalian makan lah.
Sialnya lagi, karena mengejar waktu  ban motor yang kami kemudikan bocor tepat di sebelah pendopo Jalan Gotong Royong. Duh apes.Â
Saya pun terpaksa menuntun secara perlahan. Pedagang di sepanjang jalan Gotong Royong sudah berjejer rapi. Satu dua motor nampak menghiasi setiap depan gerobak pedagang kaki lima.Â
Saya hanya bisa mendorong lemas motor saya. Saya sudah tidak peduli entah deadline ini selesai atau tidak, yang penting  motor ini bisa selesai dulu. Saya begitu kesal. Merutuki keadaan. Kok ya bisa-bisanya waktu mepet gini kok ya ada saja cobaannya. Berjalan menuntun sepeda di jalan yang ramai juga agak malu sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi.
Di sela-sela suasana perih itu teman saya berseloroh.
"Aku kok lagek sadar yo Gotong Royong apike ngene, onok omah seng model ngene, syuaahdu je"
Saya sebenarnya menganggap lalu saja perkataanya. Saya masih fokus berjalan sambil  mencari tambal ban. Tapi semakin saya biarkan, saya juga merasakan hal yang sama. Saya mulai memelankan motor yang saya tuntun. mengamati sekitar. Melihat keramaian orang berlalu lalang. Melihat  penjual martabak memulai aksi akrobatiknya, sedangkan sang pembeli yang semenjak awal berdiri di sampingnya tak lelah memusatkan pandangan kepadanya.Â
Beberapa langkah kemudian, saya dapat melihat dengan jelas geliat penuh bingar mas-mas penjual cilok yang kewalahan meladeni pembeli yang berjibun. Beberapa sudut rumah yang selama ini luput dari perhatian saya hari itu terlihat. Beberapa punya koleksi bunga yang indah, beberapa tampak sepi tanpa ada aktivitas.hal-hal tersebut bisa saya lihat seolah-olah kami baru pertama kali lewat jalan Gotong Royong ini. Padahal ya bisa dikatakan hampir setiap hari kami melewati jalan di Babat ini.
Dari sini saya pun akhirnya bersepakat dengan teman saya tadi, bahwa beberapa hal memang sebenarnya mempunyai potensi untuk dinikmati. Kita saja yang terlalu naif, terlalu berpacu dengan keinginan-keinginan. Terlalu berpacu dengan kecepatan. Dengan dalih mencapai suatu tujuan sebagaimana orang banyak cita-citakan. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam perjalanan itu ada banyak hal yang patut untuk dinikmati dan direnungkan.
Ada beberapa fase dalam hidup yang menuntut kita untuk berjalan perlahan. Menurunkan kecepatan. Menaruh ego. Menikmati ketertinggalan. Mengabaikan segala keriuhan yang ada. Terkadang kita selalu sibuk melihat arus sekitar yang berjalan begitu cepat. Kita lantas terpengaruh, kemudian memasang target-target dan jarak tempuh yang sebenarnya sedikit sulit untuk kita raih -untuk tidak mengatakan mustahil.
Hingga pada akhirnya, jika tujuan tersebut tidak tercapai kita sendiri yang akan mengeluhkan kegagalannya. Tentu saya tidak bilang hal itu buruk, tidak. Mendapatkan dorongan dari pergerakan kawan  sekitar dan bahkan lawan tentu adalah hal yang baik, sangat baik bahkan. Bukankah kita memang di
Tapi dalam konteks ini saya ingin menggarisbawahi satu hal. Dalam proses tersebut mungkin dan bisa saya pastikan ada hal-hal yang akan menghambat kita dalam mencapai satu tujuan.Â
Jika ketika saya mengalami ban bocor saya masih terus fokus dengan beberapa tanggungan dan kesialan hari itu. sampai akhir saya menuntun motor, mungkin hanya makian dan racauan yang ada di otak saya.Â
Tetapi berkat perkataan teman saya tadi, ban bocor yang menghambat saya menuju kurir paket dan sekian tujuan lain, justru mengantar saya pada cara pandang baru. Tidak selamanya hambatan akan berakhir menjadi sambatan. Justru dengan hambatan yang muncul di tengah perjalanan, sebenarnya kita diberi kesempatan untuk berhenti sejenak. Menikmati segala realita yang ada, sambil memikirkan beberapa solusi yang bisa menjadi alternatif pilihan setelah itu. Kita mungkin sejenak dipaksa untuk menurunkan ritme perjalanan. Karena dalam beberapa hal berpacu dengan kecepatan bisa mengakibatkan kecelakaan.Â
"Mungkin saya hari ini belum menyelesaikan tulisan karena sudah sangat suntuk. Mungkin hari ini belum bisa maksimal dalam menunaikan janji, akan tetapi dengan keadaan ini mungkin sejenak saya harus berhenti. Menikmati segala hal dan pencapaian yang sudah terlewati hingga saat ini." Begitu kira-kira renungan saya waktu itu.
"Mungkin satu tulisan hari ini tidak selesai, akan tetapi bukankah dalam bulan ini kamu sudah menulis belasan tulisan. Sebuah pencapaian yang jauh dibanding beberapa bulan yang lalu, dimana 5 tulisan dalam satu bulan sudah sangat banyak bagimu."Â
Saya pun sangat menikmati 'jalan-jalan' sore itu. Sampai kami tiba tadi tukang tambal ban yang masih di sekitar Jl. Gotong Royong. Kemudian saya dan teman bersepakat untuk berjalan saja mengantar barang ke pos kurir sambil menunggu motornya jadi.Â
"Ketika sebuah hambatan datang, mungkin kita tidak perlu menurunkan target dan tujuan, mungkin kita hanya perlu menurunkan ritme kecepatan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H