Mohon tunggu...
Yazid Fathoni
Yazid Fathoni Mohon Tunggu... Pustakawan - Santri

Santri pustakawan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mukadimah Tulisan

18 Agustus 2021   04:55 Diperbarui: 18 Agustus 2021   05:02 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah, alhamdulillah, Asyhadu an La ilahaillallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Segala puji bagi Allah Dzat yang akan terus dan selalu menang. Shalawat dan Salam semoga terus tercurah sepanjang bintang masih terang.

Saya awali tulisan ini dengan 4 elemen diatas. Sebagaimana budaya saya di pesantren. 4 hal tadi; yakni bismillah, hamdalah, syahadat dan shalawat. adalah suatu keniscayaan. Mutlak harus ada, baik itu dalam awal sebuah buku. Awal sebuah khitobah atau pidato. Tentu ada berbagai alasan dan dalil yang menguatkannya. Dan tidak akan saya sebut disini.

Pada intinya hal tersebut merupakan budaya yang baik dan mesti dilestarikan.

Budaya pesantren ini. Eh sebenarnya budaya ini bukan budaya pesantren. Lebih tepatnya jauh sebelum era pesantren.  Ulama' ulama generasi awal pun sudah melakukannya. Karena memang semua dasarnya ini adalah hadis nabi, jadi wajar jika budaya ini telah lama mengakar dalam islam. Cuma saya tidak dan belum pernah membaca secara pasti kapan dimulai budaya ini.

Dan jika kita mau mengamati, budaya ini rupanya telah diadopsi oleh masyarakat indonesia ketika pidato-pidato. Ataupun dalam undangan-undangan baik resmi atau tidak. Jika anda amati pasti akan anda temukan, elemen-elemen seperti; pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah. Kedua kalinya shalawat serta salam dst.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh budaya Islam dan pesantren khususnya telah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Bahkan kalau saya amati praktek tersebut juga kadang dilakukan oleh kaum nasrani. 

Cuman yang membedakan, kalau dilihat dari sisi variasi kata yang dipakai dalam kalaimat-kalimat tersebut. Versi bahasa indonesia terkesan itu-itu saja. Kalaupun ada yang berbeda toh itu hanya bebebrapa kata saja. Susunan kalimatnya hampir semuanya sama.

Template defaultnya begini:

Marilah kita panjatkan syukur kehadirat Tuhan YME karena pada pagi ini kita diberi kesehatan sehingga dapat berkumoul di......

Sholawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya baik di dunia maupun di Akhirat.....

Tidak banyak variasinya.

Entah karena apa faktornya saya tidak tahu. Entah karena budaya meniru yang begitu melekat pada diri kita. Ataupun kita terlalu menjunjung tinggi nilai ajaran leluhur, sehingga mengubah kata pun kita enggan. Atau gimana. Namun yang jelas tidak ada nilai sastra dalam isinya. 

Jarang saya temukan penceramah atau seorang yang berpidato menggunakan mukaddimah dengan bahasa yang indah nan sastrawi. Kebanyakan ya kembali itu-itu aja.

Hal ini tentu berbeda dengan budaya arab. Saya yakin, jika anda membuka kitab 1000 judul saya berani jamin isi muqaddimahnya pasti berbeda. Saya kira para ulama punya standar dan gengsi sendiri dalam menulis muqaddimah.

Entahlah, kadang saya sendiri ketika bicara di depan umum mukaddimahnya juga itu-itu juga. Males sih mau mikir mukoddimah lawong inti omongannya aja kadang belum siap. heheheh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun