What
Karya sastra yang memiliki nilai estetika, moral, konsepsional, dan nilai didik merupakan hasil suatu kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat Jawa yaitu karya sastra berbentuk prosa dan tembang (puisi tradisional). Karya sastra Jawa merupakan karya sastra tertua di Indonesia yang masih eksis hingga sekarang. Tradisi penulisan puisi yang menggunakan media bahasa Jawa telah ada sejak abad ke-9 (Purwadi, 2007:1).
Karya sastra Jawa yang berbentuk gancaran maupun tembang banyak ditulis oleh para pujangga abad ke-19, antara lain: Sastranagara, Yasadipura, Ranggawarsita, Mangkunagara IV, Pakubuwana IV, dan Pakubuwana V. Bahasa dan sastra pinathok dalam bahasa dan sastra Jawa modern disebut puisi Jawa tradisional, terdiri dari tembang macapat, kidung, tembang gedhe dan kakawin (Karsono H. Saputra, 2001: 23).
Ranggawarsita adalah pujangga besar yang hidup di masa Kasunanan Surakarta pada abad ke-19. Dalam karya-karyanya, ia menggambarkan prediksi mengenai era atau zaman yang akan dihadapi oleh bangsa, terutama dalam konteks sosial dan moral. Tiga era utama yang disebutkan dalam naskahnya adalah Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu, yang menggambarkan tiga tahap perubahan sosial dalam kehidupan manusia: dari era keemasan hingga masa penuh tantangan. Jika dikaitkan dengan fenomena korupsi di Indonesia saat ini, karya Ranggawarsita dapat memberikan refleksi mendalam mengenai kemerosotan nilai moral dan kepemimpinan.
Ranggawarsita, seorang pujangga besar dari Keraton Surakarta, menciptakan karya sastra terkenal yang mencerminkan tiga fase besar dalam sejarah atau pandangan beliau terhadap zaman. Ketiga fase ini adalah Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Setiap era ini memiliki ciri dan tanda yang berbeda, masing-masing merujuk pada karakteristik moral dan sosial masyarakatnya.
Kalasuba, secara harfiah berarti “masa penuh kebaikan,” menggambarkan zaman di mana nilai-nilai moral dan kebenaran dijunjung tinggi. Katatidha, atau “masa penuh keraguan,” melukiskan keadaan masyarakat yang mulai meragukan prinsip-prinsip hidup yang mereka pegang, sementara Kalabendhu mengisyaratkan “masa penuh bencana,” mencerminkan periode kejatuhan moral dan kerusakan di berbagai aspek kehidupan. Ketiga era ini sebenarnya bisa dilihat sebagai refleksi dari siklus kehidupan dan kondisi masyarakat yang berulang dari masa ke masa.
Why