Mohon tunggu...
Yazid Alveryo
Yazid Alveryo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sastra Indonesia, akademisi, music, and games

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahasa Menjadi Tembok untuk Sebagian Orang

2 Juli 2024   09:36 Diperbarui: 2 Juli 2024   09:41 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bahasa Melayu Riau sendiri merupakan bahasa yang dipakai menjadi Bahasa Universal orang Indonesia. Melayu Riau dijadikan bahasa Indonesia Karena Lingua Franca (Bahasa gaul) di Indonesia. Bahasa yang digunakan masyarakat umum sendiri adalah bahasa SLANG. Bahasa slang itu adalah bahasa yang tidak baku. Banyak alasan mengapa masyarakat umum menggunakan bahasa slang, karena mudah diimplementasikan di kehidupan sehari-hari, dan gampang dimengerti.

Sekian intermezzo diatas, kita mulai pembahasan tentang isu bahasa.

Seringkali terjadi ketika seseorang baru pindah dari suatu daerah ke kota Metropolitan, bahasa menjadi salah satu bahan ledekan. Apalagi ketika ada sesorang yang dari daerah ingin bergaul dengan orang-orang kota, perbedaan cara berbahasa sering dijadikan bahan lelucon oleh orang-orang kota yang katanya gaul itu. 

Adanya ragam bahasa itulah yang kadang menyebabkan adanya permasalahan sosial, di mana kita akan banyak menemui orang yang mengkritik atau orang yang mencemooh bahasa yang dipakai seseorang. 

Tentu, jika dipindahkan isu bahasa ke tempat seperti institusi formal seperti pendidikan, pemerintahan, dan pekerjaan, bahasa menjadi faktor penting dalam berkomunikasi. Dalam konteks pendidikan, bahasa bisa mengukur keintelektualan seseorang. 

Namun, kali ini saya hanya akan membahas pemasalahan sosial bahasa yang terjadi di kalangan masyarakat umum, di mana bahasa menjadi tembok besar seseorang untuk berkomunikasi. Anehnya ada orang yang mengerti maksud dari bahasa seseorang, namun karena orang itu merasa dia berbicara dengan orang yang kampungan, ia langsung mengacuhkannya.

Kasta sosial menjadi halangan yang paling jelas ketika berbahasa, di mana kelas bawah selalu terkena judge oleh kalangan atas ketika berbahasa. Kelas atas selalu menganggap ketika berbicara dengan orang kelas bawah sangat tidak nyambung. 

Kelas atas bisa dianalogikan sebagai orang yang berpendidikan, dan kaya raya, sedangkan orang kelas bawah bisa dianalogikan sebagai kelas pekerja. Pertanyaannya adalah... apakah itu bisa diwajarkan? Jelas tidak!! karena belum tentu orang kelas bawah bisa menempuh jalan pendidikan, maka hal itu tidak bisa diwajarkan dan hal itu sangat amat disayangkan, maka dari itu sistem kasta dalam berbahasa.

Isu bahasa di era sekarang bisa dianalogikan dengan membayangkan seorang pelayan kafe yang mengantarkan kopinya ke meja meeting para bos perusahaan elit, pelayan tersebut senyum ramah tapi para bos membalasnya dengan marah karena kopinya pahit, padahal ia memesan kopi hitam tanpa gula. Begitulah gambaran isu bahasa yang terjadi di Indonesia.

Tentu, jika ngomongin tentang isu bahasa rasanya tidak afdhol jika tidak membahas Jakarta Selatan. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa Jaksel merupakan kota yang gaul, metropolitan, dan banyak polusi. Banyak orang di Jakarta menggunakan bahasa yang gaul, di sini juga lah banyak orang yang ingin merasa keren dengan bahasanya yang "LO GUE". 

Di sinilah banyak orang yang selalu merasa bahwa bahasa yang mereka pakai adalah bahasa yang baik dan benar, banyak orang yang menggurui cara orang berbahasa, dan mengkritik bahasa orang-orang yang medog. Budaya berbahasa di Jakarta itu sangat fluid, banyak kata-kata baru yang muncul di Jakarta, seperti bosan menjadi gabut yang asal katanya adalah "gaji buta", pergeseran makna itulah yang akhirnya disetujui oleh banyak masyarakat terutama Jakarta.

Jakarta juga terkenal dengan bahasanya yang mencampurkan bahasa Inggris dalam kosakata sehari-hari dalam berbahasa, bahasa itu dikenal dengan sebutan bahasa "Jaksel". Bahasa Jaksel tersebut menjadi tolak ukur seseorang untuk mengetahui ke Jakselan-nya, jika tidak fasih siap-siaplah untuk dicemooh "katro". 

Kebanyakan orang yang gaul di Jakarta sering men-judge bahasa Inggris seseorang, jika salah pelafalan gramatical bahasa Inggris bisa dipastikan anda akan mendapatkan perkataan: "Gausah sok Inggris kampung!!". Nyatanya tidak ada batasan apapun untuk seseorang yang ingin berbahasa, kita bisa bebas mengeksplor bahasa yang kita mau, kita bisa pelajari bahasa tanpa diatur. 

Jika kata "Gausah sok Inggris" terus dijaga, maka bisa dipastikan banyak sekali orang yang akan malas untuk belajar berbahasa, begitu juga bahasa Indonesia, jika terus di-judge bagaimana cara kita berbahasa Indonesia, maka negeri ini tidak akan bisa melestarikan bahasa secara luas.

Hanya segitu saja opini yang bisa saya suguhkan kali ini, kesimpulannya adalah... tidak ada acuan pasti dalam berbahasa, cara kita berbahasa tergantung dengan siapa kita berbicara, tidak bisa kita menyamaratakan bahasa yang kita pakai dengan semua orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun