J: Berdasarkan UU Pemilu, KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu. Apabila ada sengketa dan peselisihan pemilu, maka MK yang mengadili . Itu aturan hukumnya. Jika misalnya paslon atau tim sukses tidak percaya KPU dan MK, lalu harus bagaimana? Semua paslon sebelumnya mendaftar ke KPU sebagai peserta pilpres, namun ketika hitung sementara kalah, mereka tidak menerima dan tidak percaya KPU. Ini akan membingungkan masyarakat. Kalau yakin tidak percaya kepada KPU dan MK, harusnya sejak awal mereka menyatakan itu dan tidak perlu mendaftar sebagai peserta pilpres.
MK tidak mungkin sembarangan membatalkan (hasil) pemilu secara keseluruhan. Yang bisa dilakukan adalah membatalkan penghitungan suara di TPS atau memerintahkan pemungutan suara ulang di TPS-TPS yang diduga terdapat kecurangan. Hukum itu harus diuji. Harus memberi keadilan bagi semua pihak/orang. Apabila ada dugaan bahwa kemenangan pasangan Prabowo-Gibran karena melakukan perbuatan curang, maka harus dibuktikan di MK, sehingga ada kepastian hukum.
J: Mengenai TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif)?
J: Dalam hukum, TSM tidak dikenal. Namun secara politik, TSM mungkin bisa dianggap sebagai skenario, ada perencanaan dan persiapan untuk melakukan kecurangan. Apabila benar ada skenario, kapan dan di mana persiapan dan perencanaan itu dilakukan, dan siapa orang-orangnya? Apakah ada bukti dan saksi, lalu bagaimana bentuk perbuatannya? Apakah bukti perbuatan curang itu dilakukan oleh seluruh jajaran tim sukses dan relawan paslon pemenang di seluruh desa, kabupaten, kota, provinsi? Â Sangat sulit untuk membuktikan adanya dugaan kecurangan secara TSM.
T: Bagaimana mengenai suara-suara yang menuntut keadilan dalam pesta demokrasi?
J: Untuk mewujudkan keadilan, setiap orang sama di depan hukum. Apabila ada konflik, perselisihan, beda pendapat, maka demi keadilan, semua fakta harus dibawa dan diuji di sidang pengadilan. Keadilan itu harus diwujudkan di muka pengadilan, dalam hal ini adalah MK. Semua paslon, berhak memperoleh keadilan yang sama dan setara.
Pemilu diatur oleh UU Pemilu, di antaranya mengatur peran, fungsi  dan kewenangan KPU, Bawaslu dan MK. Semua peserta pemilu, setelah mendaftar dan diterima, harus mematuhi aturan itu. UU Pemilu adalah aturan Negara. Peserta pemilu, juga pemerintah dan rakyat, harus menghormati dan patuh. Kalau misalnya ada suara-suara yang tidak percaya terhadap KPU dan MK, maka pada hakikatnya, mereka tidak menghormati hukum, tidak menghormati UU dan aturan Negara.
Demokrasi tidak bisa disebut sebagai hak asasi. Demokrasi tetap harus dibatasi oleh aturan hukum atau UU, karena Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, setiap orang, siapa saja, tidak bisa bertindak sewenang-wenang.
Menurut hemat saya, tidak perlu ada suara-suara yang menyatakan tidak percaya KPU atau MK. Kalau memang tidak puas dengan penyelenggaraan pemilu  atau misalnya adanya dugaan campur tangan dan keberpihakan pemerintah  (presiden) dalam mendukung salah satu paslon, maka lebih baik paslon membuat maklumat, misalnya menyatakan tidak mengakui hasil Pemilu/Pilpres 2024.
T: Mungkinkah MK memutuskan Pemilu/Pilpres 2024 tidak sah, sehingga seluruh proses Pemilu 2024 dibatalkan?
J: Kemungkinan MK untuk menyatakan Pemilu 2024 tidak sah sangat sulit. Perlu pembuktian yang kuat, misalnya salah satu paslon terbukti melanggar UUD 1945 atau adanya kejadian yang luar biasa, seperti pengerahan aparat keamanan negara di hampir seluruh wilayah (desa, kabupaten/kota, provinsi) di Indonesia untuk meneror dan mengintimidasi rakyat, petugas TPS, dan pejabat KPU ketika melakukan kegiatan pemungutan/penghitungan suara. Kalau terbukti misalnya satuan tentara dengan senjata mengepung gedung KPU saat penghitungn suara, bisa saja MK menyatakan pemilu tidak sah.