Mohon tunggu...
Yayat R Cipasang
Yayat R Cipasang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penulis dan editor beberapa buku di antaranya Selebritas Ramai-Ramai Bidik Senayan (Madia Publisher, 2009), Ketika Hollywood Ngambek (Departemen Keuangan RI, 2011), Pers Amnesia: Mengapa Jawa Pos Berbohong & Mengapa SBY Nginggris (C&K Publisher, 2012), Max Sopacua: Separuh Jiwaku Pergi (C&K Pulisher, 2013), Sutan Bhatoegana Ngeri-ngeri Sedap Gebrak Senayan (C&K Pulisher, 2013), Sutarto Alimoeso Jenderal Semut Membangun Bulog yang Baru (Kreatif Media, 2014), Transformasi Yanti B. Sugarda: Ibu Polling Indonesia (Change, 2014) DPR Salah Gaul (Change, 2014), Biografi Inspiratif Pemilik Trusmi Group Muslim Muda Miliarder (Gramedia, 2015) dan Negeri Kecanduan Impor (C&K Publisher, 2016). | Email: kangyayat@gmail.com | Facebook: Yayat R Cipasang | Twitter: @YayatRCipasang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sutan Bhatoegana, datang Jakarta naik Hercules (2)

27 Oktober 2016   12:50 Diperbarui: 27 Oktober 2016   16:01 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi

PENERBANGAN Polonia Medan-Halim Perdanakusuma yang ditempuh dalam dua jam bukan sebuah perjalanan yang menyenangkan. Saat naik taksi menuju Menteng, Jakarta Pusat, pendengaran Sutan masih belum normal. Suara bising Hercules masih memekakkan kupingnya.

"Nanti kamu baik-baik ya selama di sana. Kamu harus jujur. Kuliah yang rajin," kata Letnan Dua Tubagus yang menyertai Sutan sejak dari barak hingga naik taksi untuk mengantarkanya ke sebuah rumah mewah di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat.

"Ya, Om," kata Sutan pelan.

Sutan mencoba menggeser kakinya karena merasa tertindih koper besi yang berisi pakain, sarung dan juga beras. Sesekali mengurut telapak tangan kanannya yang memerah karena menenteng koper yang beratnya hampir 50 kilogram.

Rumah itu sangat mewah. Pagar betonnya sangat kokoh. Pintu terbut dari kayu. Juga sangat tinggi. Aktivitas di dalam rumah hanya dapat diintip dari lubang seukuran batu bata. Terkunci sangat rapat.

Om Tubagus coba menekan tombol bel dengaan tulisan hitam ‘TEKAN DI SINI’. Bel berbunyi saangat nyaring. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sutan mencoba menekan tombol yang sama dua kali dan kembali bel itu berteriak. Masih belum ada tanda-tanda orang keluar dari rumah itu.

Sutan dan Om Tubagus hampir satu setengah jam menunggu di samping pintu gerbang. Siang itu matahari tidak terlalu terik tapi haus dan lapar sudah sangat terasa. Kembali Sutan menekan bel dengan sikap putus asa. Bunyi bel sangat nyaring. Kali ini seorang tua renta tergopoh-gopoh membuka pintu.

"Bisa ketemu dengan Om saya. Saya Sutan saudaranya dari Medan," kata Sutan dengan suara mantap. Sutan sendiri tidak tahu wajah omnya. Ibu di kampung hanya menyebutkan ciri-ciri fisiknya.

Hanya dalam hitungan menit, seorang perempuan dengan rambut bersasak keluar. Sutan sudah menduga itu adalah istri omnya. "Maaf ya selama ini banyak yang mengaku-ngaku saudara. Saya tidak kenal  Anda," kata perempuan itu dengan suara tinggi.

"Ini foto Ibu saya. Saya disuruh Ibu untuk menemui Om," kata Sutan dengan suara terbata-bata.

Tak lama berselang keluar seorang pria gagah dengan rambut dan kulit sangat terawat. Sutan memastikan itu adalah omnya yang dikenal sebagai pengusaha suskes di Jakarta.

"Ini Pa, ada yang mengaku-ngaku saudara.  Nih dia bawa foto," kata perempuan itu.

"Kamu Sutan ya," sapanya.

 Sutan mencium tangan Om-nya. Belum sempat mengutarakan maksud dan tujuan kehadirannya, tarikan tangan omnya sudah menandakan gelagat aneh.

"Gini Sutan, Om tak bisa menerima kamu di sini. Nggak ada tempat lagi." Suara itu seperti tamparan. Suara itu seperti geledek di  siang bolong. Sutan hanya tertunduk.

"Tan, sudah ngapain diperdebatkan. Ayo ikut Om!" Om Tubagus yang dari tadi menyimak pembicaraan langsung menggamit lengan Sutan. Tanpa pamit Om Tubagus mencegat taksi dan langsung membawa Sutan ke rumah penghubung Kodam II Bukit Barisan di Berlan, Matraman. Rumah peninggalan  Belanda itu adalah kantor perwakilan Kodam II Bukit Barisan di Jakarta.

"Sudah kamu jangan sedih. Kamu tinggal di mess saja. Nanti kita bicarakan di sana saja," kata Om Tubagus dengan suara pelan. "Satu pesan Om. Kamu harus berhasil. Apa pun yang kau lakukan lakukanlah. Kalau perlu kau merampok atau mencuri dengan syarat jangan ada yang merasa kehilangan."

Keputusan sudah bulat, Om Tubagus  setelah selesai berdinas dua hari di Jakarta kembali ke Medan degan membawa kabar buruk. Sementara Sutan memilih ke Yogyakarta untuk menemui saudara lain di Kota Gudeg.

Om Tubagus berdinas  satu kantor dengan ayah Sutan di Kodam II Bukit Barisan. Sama-sama tinggal di barak. Keluarga Sutan dan Om Tubagus sama-sama menempati gudang peluru yang disekat-sekat dan disulap menjadi rumah dinas. Om Tubagus menempati nomor empat sementara keluarga Sutan nomor dua.

Panggkat boleh sama-sama kapten tetapi kesejahteraan sangat jauh berbeda.  Om Tubagus anaknya satu sebaliknya Kapten Mahyudin, ayah Sutan anaknya tujuh. Inilah yang membuat Om Tubagus yang asal Bandung, Jawa Barat, sayang sama keluarga Sutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun