Tak bisa dipungkiri jika banyak pihak yang mendekat dan memberikan dukungan suara dan finansial kepada paslon guna mengincar suatu jabatan atau proyek. Maka sering kita dapati paslon yang terpilih akan melakukan rotasi besar-besaran dengan memasang orang-orang yang berjasa memenangkannya dalam kontestasi pilkada.
Begitu juga dengan pihak yang tidak menjadi bagian dari tim pemenangan, maka akan dimutasi atau tak diberi jabatan. Fenomena seperti ini juga seakan menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat dalam proses pilkada. Sebuah tindakan politik balas budi yang mementingkan kelompok dan mencederai proses demokrasi.
Pemerintahan yang semestinya dijalankan dengan mengedepankan prinsip meritokrasi dan mengutamakan kepentingan umum seakan menjadi tidak dihiraukan dengan adanya peerilaku balas budi seperti ini. Memasang orang yang tidak kompeten di bidangnya tetunya melahirkan pelayanan yang tidak optimal.
Dengan melihat dua fenomena ini yakni serangan fajar dan balas budi politik, jika terus menerus dijadikan kebiasaan dalam proses demokrasi lima tahunan kita, maka pilkada tak ubahnya pasar yang memperjual belikan jabatan dan suara. Kita tak akan lagi mendapati suara nurani dan pemimpin yang betul-betul menginginkan pembangunan dan kemajuan suatu daerah.
Jika kita tak bisa mengubah perilaku politik lima tahunan ini, maka fenomena pilkada yang seharusnya menjadi tamparan biarlah mejadi kelakar bagi kita "Fajar yang menyerang, Budi yang membalas" .Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI